5 Maret merupakan hari khusus bagi saya, terkait dengan blog bernama Kompasiana. Sejak 5 Maret 2013 saya terdaftar sebagai kompasianer. Berarti, dua tahun saya menjadi bagian dalam blog milik Grup Kompas ini. Baru dua tahun pula saya berkenalan dengan karya para kompasianer.
Saya ingat, pertama kali bergabung itu saya masih berstatus karyawan honorer sebagai tenaga tukang gambar (drafter) di sebuah perusahaan jasa konstruksi yang melayani pekerjaan jasa konstruksi untuk sebuah perusahaan asing (user) di Balikpapan. Di perusahaan tersebut saya bertahan hanya selama tiga bulan karena uraian tugas (job description) saya tidaklah jelas sebagai drafter ataukah engineer. Saya menggambar (drafter) tetapi ditambah dengan urusan engineering dengan user, padahal dibayar dengan harga seorang drafter. Sebelumnya, di sebuah perusahaan jasa konstruksi juga (tapi berkantor pusat di Jakarta), saya mengalami hal yang sama.
Sungguh tidak perlu ‘menggugat’ perusahaan-perusahaan ‘drakula’ semacam itu karena tulisan ini hanya untuk mengingat jejak awal publisitas karya tulis saya di Kompasiana, meski bukan karya arsitektural sebagaimana ‘seharusnya’ seorang arsitek. Menulis, tepatnya mengetik, selama lebih 15 tahun merupakan ‘perselingkuhan’ profesi saya yang paling intens, dan masih menjadi kegemaran saya. Kompasiana hanyalah salah satu media publisitas karya ‘perselingkuhan’ saya, dan ‘direstui’ oleh istri saya.
Saya tertarik menjadi kompasianer karena saya membutuhkan publisitas lainnya untuk menyampaikan pemikiran saya, meskipun merupakan pemikiran yang naif sekaligus mbeling (nakal). Ke-mbeling-an saya dengan penanda karya berseri “Tulisan Mbeling” yang pertama kali saya pajang berjudul “Udelisme” (http://sosbud.kompasiana.com/2013/03/05/udelisme-sebuah-tulisan-mbeling-534305.html.) di rubrik Humaniora beruang Sosial budaya (Sosbud).
Pada alinea pertama tulisan mbeling tersebut tertulis, “Udelisme adalah paham mengenai kepentingan udel dan sekitarnya sebagai kebutuhan paling utama yang wajib dipenuhi dan dipuasi. Paham ini tidak menjadikan kepala (logika) dan hati nurani sebagai bagian konselor pribadi yang paling hakiki dan bisa memrediksi suatu dampak secara logis-konsekuensif. Dengan kata lain, posisi pikiran dan perasaan telah berada pada udel (pusar/puser) sehingga udel menjadi pusat bagi segala tujuan atau kehendak atas suatu aktivitas.”
Tulisan mbeling tersebut dibaca oleh 95 orang, disukai oleh 3 orang, dan dikomentari oleh 1 orang. Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada para pembaca, penyuka, dan pengomentar.
Sementara artikel (karya tulis) terakhir sebagai penggenapan dua tahun (5 Maret 2015) sebagai kompasianer adalah puisi “Uang Ulung” di rubrik Fiksiana beruang Puisi.
Uang Ulung
Undang-undang uang-uang
Udang-udang ulang-ulang
Untung-untung usung-usung
Utang-utang usang-usang
Undang uang ulang udang
Usung untung utang usang
Ulung!
*******
Panggung Renung, 2015
Ide puisi tersebut berasal dari ‘perseteruan’ antara Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Poernama alias Ahok dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta terkait “Dana Siluman” senilai Rp.12,1 trilyun. Secara spiritual Kristen saya mengamini bahwa uang adalah akar dari segala kejahatan. Secara historial saya mengenal bahwa uang selalu menjadi akar konflik kepentingan bangsa-negara sejak masa kolonial. Secara kultural saya sepakat bahwa uang tidak memiliki agama, suku, ras, golongan, orangtua, tetangga, sahabat, lawan, logika-emosi, dan seterusnya.
Di Kompasiana puisi tersebut dibaca oleh 9 orang. Tidak ada yang menyukai apalagi menanggapi. Tapi saya tetap berterima kasih kepada para pembaca karena sudi meluangkan waktu untuk membaca karya saya.
Begitulah dua artikel (karya tulis) saya sejak pertama dan terakhir sebagai kompasianer selama dua tahun ini. Baru terpajang 265 artikel (karya) seperti yang tertara pada layar Profil, berupa esai (udar rasa) atau “Tulisan Mbeling”, cerpen, dan puisi.
Dari 265 artikel (karya) itu, hanya terdapat 245 tanggapan. Atau, rata-rata 92,5% alias tidak sampai 100%. Artinya, karya saya kurang menarik untuk ditanggapi, meskipun dibaca dengan sedikit saja disukai.
Dan, dari 265 artikel itu, ada tiga artikel yang masuk tiga besar dalam jumlah banyaknya pembaca. Artikel pertama adalah Tulisan Mbeling : Sedapnya Suap Seks (http://birokrasi.kompasiana.com/2013/05/04/tulisan-mbeling-sedapnya-suap-seks-552799.html), yang terpajang di ruang Birokrasi dalam rubrik Politik, 04 Mei 2013 dengan 2755 pembaca dan 173 penyuka. Artikel berikutnya, kedua, adalah Sepinya Setoran Ahok (http://politik.kompasiana.com/2014/09/12/sepinya-setoran-ahok-687288.html), yang terpajang di ruang Politik dalam rubrik Politik, 12 September 2014 dengan 2335 pembaca dan 39 penyuka. Urutan ketiga adalah Miris, Citra Polisi di Mata Anak Kelas IV SD (http://edukasi.kompasiana.com/2013/12/07/miris-citra-polisi-di-mata-anak-kelas-iv-sd-614602.html), yang terpajang di ruang Edukasi dalam rubrik Humaniora, 07 Desember 2013 dengan 1790 pembaca dan 41 penyuka.
Tiga artikel tersebut memiliki kata kunci, yakni “Suap” (berkaitan dengan korupsi, 2013), “Ahok” (2014), dan “Polisi” (2013). Sampai pada 5 Maret 2015 ini, ketiga kata kunci tersebut masih relevan. Barangkali hanya suatu kebetulan.
(BERSAMBUNG)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H