Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kampanye yang Menyengsarakan

24 Maret 2014   07:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:34 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam acara kampanye sebuah partai yang dilakukan secara meriah di Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu, 23 Maret 2014, ratusan pedagang asongan di sekitarnya mengalami kerugian besar. Barang dagangan ludes tetapi tidak menjadi uang. Padahal, siapa pun pasti mengerti, pedagang asongan bukanlah Sinterklas. Di depan kamera sebuah stasiun televisi swasta para padagang asongan mengumbar segala kecewa dan sakit hati mereka.

Kejadian ini sungguh ironi, mengingat partai tersebut selalu mengibarkan sebagian lambang negara dan memamerkan kedekatan dengan rakyat kecil dalam setiap sajian ‘kampanye terselubung’-nya di media massa seolah hendak mengobarkan semangat kemandirian rakyat dalam berdikari. Ketika secara resmi mendapat kesempatan memulai kampanye, justru terjadi ‘perampasan’ terhadap hak-hak azasi rakyat dalam usaha menghidupi keluarga.

Memang, kejadian tersebut bisa saja akibat ‘ditunggangi’ sekelompok massa simpatisan partai yang memang sejak semula memiliki motif ‘kepentingan pribadi’. Sekelompok oknum itu memanfaatkan situasi untuk ‘menyenangkan’ diri sendiri tanpa sudi menyadari dampak buruk yang ditimbulkan, baik terhadap rakyat kecil (para pedagang asongan) maupun partai yang sedang mereka ikuti. Atas nama ‘kampanye’, seakan segala sesuatu menjadi sah-halal dilakukan, termasuk ‘kejahatan’ terhadap kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Di samping itu, pada hari dan tanggal yang sama tetapi jumlah pelaku, tempat dan partai yang berbeda, terjadi ‘kejahatan’ yang senada. Satu kalimat andalan para ‘penjilat’ pimpinan, “Semua beres, Bos!” Intinya, asal bapak senang (ABS). Hanya saja korbannya adalah sebuah rumah makan. Selesai acara makan-minum, seenak perut rombongan partai pergi. Mungkin panitia ‘lokal’ alias petinggi partai setempat menyangka bahwa si pemilik rumah makan adalah titisan Sinterklas.

Kejadian-kejadian semacam itu bukanlah kejadian pertama-kedua kali dalam catatan Penulis. Jauh tahun sebelumnya, juga pernah terjadi tetapi dilakukan oleh simpatisan dan kader dari partai yang berbeda. Mereka menikmati makanan-minuman di sekitar lokasi lalu begitu saja (jelas tidak membayar!) meninggalkan si penjual makanan-minuman. Dari pihak partai yang bersangkutan bahkan ketua partai pun tidak sudi bertanggung jawab alias membayar kerugian.

Bukanlah hal yang aneh jika pimpinan partai atau panitia partai setempat berdalih, “Kami tidak tahu. Semua terjadi begitu saja; di luar kendali, pantauan dan perkiraan kami.”

Kalau kemudian dikatakan bahwa pimpinan ataupun panitia setempat dari partai itu seakan baru pertama terjun dalam dunia politik, sosial, dan kampanye, sudah pasti mereka akan menolak bahkan marah. Namun, sehebat-hebatnya menolak serta sedahsyat-dahsyatnya marah, toh yang terlihat adalah ketidakberpengalaman mereka dalam merencanakan sekaligus mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan negatif yang justru bisa berdampak buruk terhadap citra partai.

Mereka, yang katanya berpengalaman dalam dunia politik-sosial-kampanye, terlebih kalangan elit partai, seharusnya selalu mawas diri sekaligus mewaspadai kecenderungan-kecenderungan rekan sendiri (sekelompok massa simpatisan partai) yang memiliki motif ‘menunggangi’ partai demi ‘kepentingan pribadi’. Dalih-dalih seperti “tidak tahu”, “terjadi begitu saja”, “di luar kendali” dan lain-lain tidaklah pantas lagi dikedepankan oleh para juru bicara partai dalam penyampaian tanggapan partai kepada pihak media massa.

Tulisan ini sebenarnya bukanlah suatu upaya “mengajari ikan berenang”, melainkan hanya mengingatkan kembali akan pentingnya peran korlap (koordinator lapangan) di pihak partai-partai yang sedang berkampanye atau ‘berjumpa para simpatisannya’. Tanggung jawab para korlap, tentu saja, menjaga citra partai sekaligus hak hidup rakyat (pedagang) dari tindakan hiperbolis sebagian simpatisan yang memang berangkat sembari membawa beragam motif dan benar-benar selalu membuahkan ironi.

Tetapi kesemuanya itu ada baiknya pula dikembalikan kepada sang ketua partai bersangkutan. Maksudnya, kembali kepada kesungguhan itikad baik sang ketua partai bersangkutan demi kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kampanye bukanlah sebuah ajang resmi bagi aneka omong kosong yang malah menyengsarakan rakyat, tetapi merupakan salah satu bentuk tindakan nyata partai dalam bagian kebaikan yang digembar-gemborkan melalui ‘kampanye terselubung’ di media massa sebelumnya.

Hal lainnya, tentu saja, harus menjadi ‘kewaspadaan’ bagi para pedagang asongan maupun para pedagang yang berada di sekitar lokasi kampanye. Kerumunan orang, secara pemasaran, selalu memunculkan ceruk pasar tersendiri dan potensial. Akan tetapi, tidaklah selalu demikian apabila kerumunan tersebut ternyata kerumunan penjahat. Sesuatu yang seolah potensial ternyata bisa berujung sial.

Seperti halnya banyaknya massa simpatisan partai yang sedang melakukan kampanye. Kerumunan massa tersebut tidaklah selalu merupakan sebuah ‘jaminan ekonomi positif’ alias ‘ceruk pasar’ yang akan membuat barang dagangan akan laris manis dengan terkumpulnya uang yang diharapkan. Justru waspadai pula kebalikannya, yakni barang dagangan ludes tetapi uang melayang entah ke mana alias rugi besar. Kalau tidak siap menanggung kerugian, lebih baik tidak ‘menjerumuskan’ diri dalam kerumunan massa seperti itu.

Tentunya ‘kecurigaan’ bukanlah awal berpikir yang sehat apalagi baik. Oleh karenanya, pakailah kata “waspada”; waspada terhadap kemungkinan-kemungkinan terburuk alias rugi besar yang menyengsarakan diri sendiri. Juga, biasanya, penyusup alias pencopet pun bisa bahkan piawai ‘memanfaatkan’ situasi, dimana kerumunan massa dalam sebuah kampanye merupakan ‘ceruk pasar’ tersendiri.

*******

Panggung Renung - Balikpapan, 24 Maret 2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun