Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Secuil Catatan Pribadi Seputar Pemilu 2014

9 April 2014   08:14 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:52 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Paling tidak, dari perjalanan Pemilu 2014 ternyata ada beberapa hal yang sempat singgah dalam benak Penulis. Dengan segala keterbatasan, baik pengalaman maupun pengetahuan, Penulis pun mencatatkan beberapa hal tersebut menjadi delapan bagian kecil. Tujuan tulisan ini hanyalah untuk mencatatkan ‘bagian kecil’ dari perjalanan panjang Pemilu 2014, dan usaha Penulis melawan lupa.

Delapan bagian kecil yang sempat singgah dalam benak Penulis adalah sebagai berikut.

*

1. Calon Presiden (Capres) Mendului Waktu

Siapa lagi kalau bukan Jokowi! Mantan Walikota Surakarta dua periode sekaligus Walikota Terbaik Dunia versi sebuah majalah di Amerika Serikat 2013 ini menjadi pusat perhatian dari seluruh pengamat politik di Indonesia. Padahal ia belum genap satu tahun menjabat Gubernur DKI Jakarta periode 2013 – 2018, dan belum memenuhi janji kampanye-nya untuk Jakarta Baru.

Selain karena ketegasan dan perhatian langsung (blusukan) kepada wong cilik, naiknya elektabilitas dan popularitas Jokowi adalah berkat “opini” sebagian rakyat yang marak hingga menular ke seantero pelosok dunia melalui media jejaring sosial. Jokowi, menurut sebagian wong cilik, dianggap ‘mewakili’ kesederhanaan mayoritas rakyat Indonesia.

Tak pelak sosoknya pun dianggap sebagai “satria piningit” alias tokoh yang paling diharapkan bisa meredam kebuasan para pembesar-pemimpin yang selama ini terlalu mementingkan diri sendiri dan kroni-kolega. Fisik yang kerempeng, selalu bekerja keras, dan tutur-kata yang lembut merupakan bagian penting yang juga ‘menentramkan’ sebagian rakyat Indonesia.

Perkembangan teknologi informasi-komunikasi begitu mudah menjadi fasilitas penggalangan massa yang ‘merdeka’ dari batasan-batasan partai. Keberadaan sekelompok masyarakat yang sadar media dan teknologi komunikasi massa begitu serius. Mereka sangat mudah menyatukan pilihan kepada Jokowi sebagai capres. Mereka tidak memedulikan, apakah PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) akan mengusung Jokowi sebagai capres ataukah tidak, Jokowi ‘harus’ dicapreskan.

Sekelompok masyarakat yang ‘merdeka’ dari batasan partai apa pun ini pun membentuk sebuah organisasi bernama “Bara JKW4P” alias Barisan Rakyat Jokowi for President”. Jelas tidak main-main. Bisa pula dianggap sebagai sebuah gerakan rakyat, yang dalam bahasa kerennya “people power”.

Hal ini jelas menimbulkan kegusaran bagi ‘lawan-lawan’ PDIP, meski ketika itu Jokowi sama sekali belum ditetapkan oleh PDIP sebagai capres. Belum juga ditetapkan, Jokowi sudah melakukan ‘sowan’ kepada keluarga Gus Dur, dan mendapat ‘hadiah’ berupa kopiah milik Gus Dur! Kopiah tersebut memiliki nilai karismatik yang tidak main-main!

Kegusaran pun diperlihatkan secara langsung oleh calon-calon presiden dan wakil presiden bahkan presiden yang masih menjabat, misalnya Susilo Bambang Yudhoyono (Presiden dan Ketua Umum Partai Demokrat), Prabowo (Ketua Umum Partai Gerindra), Aburizal Bakrie (Ketua Umum Partai Golkar), Hatta Rajasa (Ketua Umum Partai Amanat Nasional), Harry Tanoesoedibjo (cawapres dari Partai Hanura), dan lain-lain.

Ketika Jokowi ditetapkan oleh PDIP sebagai capres (14 Maret 2014), seketika kegusaran ‘meledak’! Yang paling kentara hasil ‘ledakannya’ adalah Prabowo – capres dari Partai Gerindra.

2. Capres dan Cawapres

Dari capres yang disodorkan oleh partai peserta Pemilu 2014, hanya Partai Hanura yang langsung menyuguhkan capres-cawapres, yaitu Capres Wiranto dan Cawapres Harry Tanoesoedibjo. Sementara lainnya, misalnya Jokowi (oleh PDIP), Rhoma Irama (oleh Partai Kebangkitan Bangsa), Aburizal Bakrie alias ARB (oleh Golkar), Dahlan Iskan (hasil konvensi Partai Demokrat), dan lain-lain, sama sekali tidak menampilkan cawapres.

Partai-partai yang mengusung capres tanpa cawapres bukanlah tanpa sebab ‘tertentu’. Tendensi yang termudah adalah “bargainning” (tawar-menawar) politik! Hal ini patut ‘diwaspadai’ karena sampai kapanpun persoalan ‘bargainning’ politik selalu ada dalam sebuah hajatan politik besar semacam pemilu.

3. Kampanye Pileg Tapi Pilpres

Kehadiran Jokowi yang dijadikan PDIP sebagai calon presiden periode 2014 – 2019 pun membuat kegusaran sejumlah elit partai karena ‘dikhawatirkan’ Jokowi bisa menjadi jaminan pada rakyat Indonesia untuk memilih caleg PDIP. Elit partai tersebut di antaranya, Fadli Zon (Partai Gerindra),Ruhut Sitompul (Partai Demokrat), dan Fahri Ahmad (Partai Keadilan Sejahtera).

Yang terlihat nyata, pertama, caleg-caleg PDIP selalu menampilkan sosok Jokowi yang mendampingi mereka pada poster-poster kampanye, selain ada yang masih menggunakan figur Bung Karno. Kedua, dengan memanfaatkan popularitas Jokowi, caleg-caleg itu pun bermain di ranah media jejaring sosial supaya masyarakat internet memilih caleg-caleg PDIP.

Sebenarnya pemanfaatan popularitas Jokowi ini justru menunjukkan bahwa si caleg sama sekali tidak memiliki kapasitas mumpuni, minimal sebuah kepercayaan diri sebagaimana layaknya manusia dan calon ‘wakil rakyat’. Bukan mustahil karakter mereka bertolak belakang dengan karakter Jokowi. Namun rakyat seharusnya ‘berhati-hati’ melihat fenomena semacam itu.

4. Pendidikan yang Tidak Berilmu

Semula ketika Jokowi mendapat dukungan sepenuhnya oleh ratusan guru honorer se-DKI Jakarta di Balai Kota Jakarta untuk maju sebagai capres. Hal ini sebenarnya wajar karena Jokowi telah ‘berjasa’ kepada guru-guru honorer itu, yang sebelumnya selalu menjadi ‘korban’ kebijakan yang sama sekali tidak bijaksana.

Akan tetapi, dukungan yang wajar dan manusiawi itu malah membuat ARB dan Prabowo seakan mengalami ‘panas dalam’ mendadak. ARB, melalui mantan artis Nurul Arifin, mengirim surat kepada guru-guru, yang tentunya ada ‘janji-janji’. Prabowo tidak mau ketinggalan. Mantan jenderal Kopasus ini merekrut 300 guru besar perguruan tinggi.

ARB dan Prabowo secara nyata telah melakukan blunder, terlepas bahwa semua itu akibat agresivitas tim sukses mereka. Namun yang paling blunder bahkan blunder terdahsyat alias sama sekali jauh dari nalar edukatif adalah para guru besar yang bersepakat atas pencapresan Prabowo. Bisa begitu parahnya?

Ya, seharusnya para guru besar itu tetap mengedepankan hal-hal ilmiah dan edukasi. Misalnya, membuat penelitian sekaligus kemungkinan-kemungkinan yang bermutu terhadap capres-capres yang akan maju dalam Pemilu 2014 ini. Untuk kesimpulan yang mengerucut pada seorang capres dan seorang cawapres, harusnya dikembalikan kepada rakyat. Atau, paling akhir adalah kepada takdir.

Akibat dari sikap kebablasan para guru besar itu, secara gamblang, terlihat bahwa pendidikan bukanlah sebuah lembaga atau institusi yang netral-edukatif melainkan sudah menjadi “alat” politik praktis alias bisa ‘diperalat’ oleh kepentingan politik. Memang, bukanlah rahasia bahwa lembaga pendidikan selalu menjadi ‘alat’ kepentingan politik. Namun, apakah harus secara gamblang begitu? Inilah yang tadi disebut “blunder terdahsyat”.

5. Kampanye Puisi

Tidak seperti pemilu-pemilu sebelumnya, kali ini puisi menjadi ‘peluru’ politik untuk menembak ‘lawan’. Dimulai oleh Prabowo (Ketua Umum Partai Gerindra sekaligus capres), “. Lalu Fadli Zon (Wakil Ketua Umum Partai Gerindra) dengan puisi “Air Mata Buaya” dan “Sajak Seekor Ikan”.

Seorang Fadli Zon memang bukanlah ‘penyair’ politik yang tiba-tiba muncul dalam rangka Pemilu 2014. Sebelum-sebelumnya, alumnus Program Studi Rusia Universitas Indonesia ini Fadli Zon juga seorang pemerhati dunia sastra, khususnya “politik sastra” dalam polemik Magsaysay 1995.

Ketiga puisi tersebut ‘ditembakkan’ ke arah Jokowi dan Megawati Soekarnopoetri (PDIP) akibat sakit hatinya seorang Prabowo atas ‘kontrak politik’ berjudul “Batu Tulis” dengan Megawati Soekarnopoetri (PDIP). Menurut Prabowo dan Gerindra, Megawati sudah menghianati ‘kontrak politik’ mereka. Namun, sebenarnya, hal ini menunjukkan kelalaian Prabowo sendiri dalam berpolitik. Bukankah sudah menjadi pengetahuan umum bahwa “tidak ada kawan atau lawan sejati dalam politik”?

‘Peluru’ politik yang sudah ‘diletuskan’ itu, tak urung, dideteksi langsung oleh politisi muda PDIP, Fahmi Alhabsyi . Ia pun membuat puisi berjudul “Pemimpin Tanpa Kuda” dan “Rempong”.

Baru dalam Pemilu 2014 ini ada istilah “berbalas puisi”. Dulu masyarakat Indonesia hanya mengenal “berbalas pantun”, sebagaimana yang pernah ditayangkan oleh Televisi Republik Indonesia sebelum adanya stasiun-stasiun televisi swasta. Bisa jadi, sebenarnya sama saja, karena pantun merupakan puisi lama.

6. Gus Dur sebagai Latar Baliho Caleg

Kalau sosok Bung Karno menjadi bagian dari latar sosok caleg, sudah bukan hal baru. Tetapi, pada Pemilu 2014 ini, sosok Gus Dur turut menjadi bagian dalam latar sosok caleg, khususnya caleg Partai Kebangkitan Bangsa.

Bapak Pluralisme Indonesia itu tiba-tiba menjadi latar dalam poster kampanye sebagian caleg sangat mungkin dimaksudkan untuk ‘mengambil’ simpati pemilih yang benar-benar mengagungkan “Bhinneka Tunggal Ika”. Barangkali, menurut si caleg beserta tim suksesnya, sebagian masyarakat Indonesia, khususnya Nahdatul Ulama dan warga keturunan Tionghoa, belum seutuhnya memahami hubungan Gus Dur dan Partai Kebangkitan Bangsa.

7. Kutub Magnit Pemilu 2014

Kalau Jokowi sebagai sosok masa kini yang sedang menjadi magnit kutub utara, Gus Dur merupakan sosok masa lalu yang dijadikan sebagai magnit kutub selatan. Kedua sosok ini merupakan manusia-manusia Indonesia yang tidak pernah mengemukakan persoalan suku dan agama seperti yang sering dilakukan oleh sebagaian politikus Indonesia!

Keakraban antara Jokowi danShinta Wahid yang ditandai dengan pemberian kopiah Gus Dur kepada Jokowi, sepakat atau tidak, merupakan tonggak penting bagi kebulatan suara untuk Jokowi sebagai calon presiden. Ada filosofi spiritual dalam kopiah (apakah ini “filosofi kopiah”, plesetan “Filosofi Kopi”-nya Dewi Lestari?). Tentu saja kekuatan medan magnit yang dihasilkan akan sangat efektif untuk ‘mengejutkan’ pihak-pihak ‘lawan’ politik!

8. Gamblangnya Politik Uang

Politik uang sudah begitu nyata, baik yang tertayang di media massa dalam suatu acara kampanye maupun langsung (‘serangan fajar’) di rumah-rumah. Mereka sama sekali tidak malu-malu ketika sorotan kamera, baik kamera wartawan maupun kamera telepon seluler, mengabadikan ‘kebobrokan’ tersebut. Juga tanpa malu-malu mengetuk pintu rumah penduduk dengan membagi-bagikan uang minimal Rp. 30 ribu. Kata “minimal” adalah yang terekam dalam sebuah tayangan di media jejaring sosial. Pada realitas lainnya, ada yang ‘nekat’ membagikan uang sebesar Rp.200 ribu per KTP!

Politik uang sebenarnya bukanlah hanya berbentuk uang, melainkan pula barang, seperti sarung, beras, gula, dan material-material lainnya. Disebut sebagai “politik uang”, karena material-material tersebut didapatkan dengan cara membeli (menggunakan uang).

Yang menariknya, sebagian masyarakat pun tidak malu-malu menerima “politik uang”. Di beberapa tempat terpasang spanduk yang bertuliskan “Siap Menyambut Serangan Fajar”. Luar biasa!

Siapa atau institusi apa yang berwenang dalam menangani ‘politik uang’? Siapa lagi kalau bukan Badan Pengawas Pemilu (Banwaslu) atau Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu). Tapi apakah benar-benar berfungsi (berwenang)? Tidak, kecuali sebatas ‘simbol’.

*

Demikianlah catatan pribadi Penulis seputar Pemilu 2014. Sudah pasti serba terbatas, apalagi sesungguhnya Penulis bukanlah berprofesi sebagai penulis. Juga bukan simpatisan apalagi kader politik manapun. Dan, sudah pasti pula Sidang Pembaca terhormat memiliki catatan-catatan lebih lengkap sekaligus bermutu.

*******

Panggung Renung, 8 April 2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun