Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Acin : Kiper yang Disiplin terhadap Dirinya Sendiri

28 Agustus 2014   09:56 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:18 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Minggu sore, 1 Juni 2014, dengan bahasa Bangka saya asik mengomentari berita tentang Bangka Selection menang 3:0 melawan Belitung Timur FC yang dipajang oleh H. Rustian Al Ansori (RAA) yang tertulis “Bangka Slektıon FC berhasıl meraıh angka penuh pada pertandıngan home menjamu Ps. Beltım pada Lanjutan kompetısı sepakbola Lıga Nusantara wılayah Bangka Belıtung Mınggu (1/6) dı lapangan Sepakbola Pemalı, Kabupaten Bangka. Bangka Slektıon FC mengalahkan Ps. Beltım 2 - 0, kedua gol dıcıptakan Dona Donı”.

Saya menanyakan, Dona Doni itu anak mana, dan seterusnya sampai komentar saya, “Sayang lho, tidak ada generasi Panser” (Panser adalah nama klub sepakbola dari kampung saya yang diambil dari singkatan “Persatuan Anak Sri Pemandang”) dan RAA menimpali, “Suruh Acin saja yang menghidupkan.”

Dari tiga komentar saya selanjutnya, muncullah komentar dari akun “Laskar Sekaban” (LS). Kata “Sekaban” artinya “sekawanan” atau “sekelompok”. KomentarLS, “Dona Doni itu anak Plangas, Bangka Barat.” Dan seterusnya. Lalu ditanggapi oleh RAA, “Acin sudah muncul, Noy.”

Saya belum menanggapi. “Pak Haji, siapa Noy itu?” tanya LS. “Urang Sri Pemandang,” jawab RAA. Juga sempat menyinggung profesi dan nama ayah saya. Ya, nama ayah saya cukup dikenal daripada nama saya karena separuh masa hidup saya harus berpindah tempat, yaitu ke Yogyakarta.

“Kalau itu, aku tahu, Pak Haji,” kata LS. Setelah saya buka profil LS, ternyata LS adalah Acin!

***

Menjelang malam itu saya sudah bertemu lagi dengan Acin. Saya mengenalnya sejak saya masih berusia sekitar 3-4 tahun, yaitu ketika dia membantu bapaknya, Om Min Ho – seorang pemborong merangkap tukang untuk pengerjaan bangunan kecil-kecilan, yang ketika itu membangun rumah ayah saya.

Rumah orangtua Acin berjarak sekitar 500 meter dari rumah orangtua saya. Kalau menuju ke arah Pemali atau Mentok, Bangka Barat, pasti akan melewati daerah rumahnya Acin. Dari jalan aspal sampai depan lapangan sepakbola “Panser”, ada pertigaan kecil, beloklah ke kiri. Ada jalan tanah, dan jalan itu menuju rumahnya Acin.

Dekat pertigaan kecil itu, selain dekat lapangan sepakbola, dekat pula dengan kebun orangtua saya. bahkan, posisinya bersebelahan dengan lapangan itu. Dan, dekat rumah seorang pemain sepakbola “Panser”, yang biasa saya panggil “Om Ata”.

Waktu saya masih balita, kakak angkat saya sering mengajak ke kebun. Usai dari kebun, saya diajak ke sungai kecil di sebelah rumah Acin. Airnya bening, dan alirannya sampai daerah kampung kami, yang kami namakan “Aik Jawe” (Air Jawa) karena berada di kebun milik orang Jawa (kawannya ayah saya juga, sesama Jawa).

Sampai ketika SD sekitar kelas V, saya masih sering ke sungai di sebelah rumah Acin. Di sekitar sungai itu atau di kebun orangtuanya Acin terdapat sebuah sumur dangkal, yang biasa dipakai untuk merendam sahang (merica) yang masih berkulit sebelum dikelupas. Terkadang saya main sendiri ke sana untuk memancing dan menanggok (nyerok) ikan, ditemani adik-adiknya Acin.

Di depan rumah Acin ada pabrik tahu (home industry) milik saudaranya Acin. Saya pun sering diajak ibu saya untuk membeli tahu di situ. Biasa, pabrik tahu berskala kecil semacam itu merupakan ‘bisnis’ orang Tionghoa. Kalau orang Jawa, yang tinggal di kampung Jawa, biasanya berbisnis tempe. Kakak dari kakak angkat saya (yang sering mengajak saya ke kebun) adalah pengusaha tempe.

***

Acin, entah siapa nama lengkapnya, adalah nama panggilan dari orangtuanya. Dia keturunan Tionghoa-Bangka, dari suku Hakka/Khek, dan beragama Kong Hu Cu. Terakhir saya ke rumah Acin pada waktu Imlek tahun 1987. Memang, kami sering bertemu di rumah tetangga depan rumah (rumah orangtua Rosa Suhartono) karena rumah itu sering menjadi tempat berkumpul para pemain bola, selain pemain voli.

Ketika saya duduk di bangku SMP, panggilan Acin berubah menjadi Taipak Cin. Kata “taipak” berarti “dukun” alias “paranormal”. Julukan itu disandangnya karena bersangkut-paut dengan kegiatan “uji nyali”, yaitu memasang “nomor lotre”. Di kampung kami, lotre yang terkenal ada dua, yaitu “nasional lotre” atau disingkat “nalo” (lotre yang diakui secara nasional), dan “Bangka lotre” alias “Banglo” yang khusus untuk wilayah Bangka. Apalagi masa itu masih marak KSOB (Kupon Sumbangan Olahraga Berhadiah) dan TSSB (Tanda Sumbangan Sosial Berhadiah).

Selain panggilan baru, Taipak Cin, juga ada panggilan lainnya, yaitu Bruce Lee. Masa itu masih sering orang kampung kami menyebut tokoh kung fu legendaris asal Mandarin itu, ditambah musim video yang masih menggunakan kaset bermerek “Betamax”. Kebetulan wajah dan penampilan Acin memang mirip dengan Bruce Lee.

***

Acin berprofesi sebagai pekerja di sebuah bengkel sepeda dekat SD-SMP-SMA Setia Budi, Sungailiat. Kendaraan andalannya adalah sepeda laki berpalang alias sepeda onthel. Dari rumahnya menuju tempat kerjanya, Acin pasti melewati jalan di depan rumah orangtua saya. Begitu pula ketika Acin pulang, sekitar pukul tiga sore.

Saya sering bertemu dengan Acin dan sepeda andalannya karena saya sering nongkrong di depan rumah tetangga. Dia mengendarai sepeda selalu dengan kecepatan sekitar 40km/jam. Dia selalu terlihat terburu-buru dengan sepedanya. Tidak perlu menunggu lama, lima belas menit kemudian dia sudah lewat lagi dengan pakaian dan perlengkapan sepakbola, termasuk bola.

Dengan kebiasaan ngebutnya, dia menuju lapangan sepakbola di Taman Sari – suatu kawasan perumahan pejabat perusahaan Unit Penambangan Timah Bangka (UPTB). Dia akan berlatih sepakbola seorang diri. Ya, seorang diri. Tapi, meski tidak terbukti, kami sempat mencurigai bahwa semangat Acin sangat berkaitan dengan seorang wanita yang selalu memakai rok mini ketika bermain tenis dekat lapangan sepakbola Taman Sari.

Acin adalah kiper andalan kesebelasan Panser B ketika itu. Panser B belum lama dibentuk. Mayoritas pemainnya adalah pelajar. Mayoritas pemainnya adalah muslim Melayu Bangka karena kampung kami berpenduduk mayoritas adalah muslim Melayu Bangka dan saya sekeluarga beretnis Jawa dan beragama Katolik. Hanya Acin yang Tionghoa, dan Kong Hu Cu. Kami, sesama warga kampung Sri Pemandang yang majemuk-plural, selalu kompak.

Sementara Panser A alias Panser senior, kipernya bernama Amin, anak Anemer Atung, yang rumahnya berada di belakang rumah Rosa Suhartono (Bang Tono). Amin juga Tionghoa tetapi seorang mualaf (istrinya orang Melayu Bangka). Satu lagi yang Tionghoa dan Kong Hu Cu adalah Acuy alias Bacok, penyerang sayap, dan rumahnya di daerah Aik Namcong (dekat aliran sungai yang mengarah ke sungai di sebelah rumah Acin). Panser A merajai persepakbolaan di Sungailiat bahkan hampir seluruh pulau Bangka yang masih satu kabupaten pada tahun 1980-an, kecuali Kotamadya Pangkalpinang dengan Persipas-nya (Persatuan Sepakbola Indonesia wilayah Pangkalpinang dan Sekitarnya).

Dalam skala klub daerah kami alias Persatuan Sepakbola (PS) Bangka Acin juga kiper cadangan. Kiper utama PS Bangka adalah Amin. Sedangkan Acuy pun pemain penyerang sayap di PS Bangka. Dan di klub Panser, seingat saya, ada lebih lima orang pemain yang juga merumput di PS Bangka, yaitu Diding, Wawan, Hermawan, dan entah siapa lagi.

Acin adalah kiper yang selalu mendisiplinkan dirinya sendiri. Di saat rekan-rekan timnya belum datang, dia sudah asik berlatih sendirian di Taman Sari. Dia tidak pernah menunggu rekan-rekannya di perempatan kampung kami (simpang Telkom), dimana kami biasa nongkrong. Dia tekun melatih dirinya sendiri. Dia sangat menikmati sepakbola dan posisinya sebagai kiper.

Di lapangan, dengan tubuh sekerempeng Bruce Lee, dia gesit dan lincah menerkam atau menyambut bola. Dia berani merebut bola dari kaki lawan dengan cara menerkam bola itu. Saya sering melihat atraksinya yang sangat mengagumkan. Saya, sebagai pendukung kesebelasan kampung kami, tentu selalu senang jika Acin bisa tampil dan segar-bugar di bawah mistar gawang.

Sayangnya, di saat Panser sedang dalam masa jaya tahun 1987, pada 9 Juni saya keluar dari kampung dan pulau kelahiran untuk melanjutkan belajar di Yogyakarta. Sejak saat itu saya tidak lagi mengetahui perjalanan karier sepakbola Acin dan Panser dalam menggilas lawan-lawannya.

***

Saya menghitung, dari 9 Juni 1987 sampai 1 Juni 2014, berarti hampir 27 tahun saya dan Acin tidak pernah bertemu. Pada tahun 1989 dan 1995 saya mudik, tidak ketemu dia. Kemudian saya mudik tahun 2003, 2004, 2005, 2006, 2007, 2008, 2009, 2012, dan 2013, kami sama sekali tidak pernah bertemu.Hampir 27 tahun saya tidak lagi mendengar suaranya yang lantang. Mungkin pula kini sepeda andalannya sudah berubah menjadi mobil.

Ternyata di jejaring sosial FB kami bertemu. Saya sudah botak depan dan gondrong belakang, dia hanya gondrong belakang. Wajahnya sudah tidak mirip Bruce Lee lagi, termasuk tubuhnya yang sudah selayaknya seorang bos. Dia masih mengenali saya sebagai anak bandel (Ah, dasar Taipak Cin!). Beruntung saya berteman juga dengan RAA sejak 2005, yaitu ketika acara pertemuan seniman di Taman Batin Tikal. Waktu itu RAA masih aktif menulis cerpen, bekerja sebagai pegawai di Radio Republik Indonesia cabang Sungailiat, Bangka Induk, dan belum bergelar “Haji”.

*******

Sabana Karang, 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun