Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sepinya Setoran Ahok

12 September 2014   07:27 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:55 2363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ahok alias Basuki Tjahaja Poernama dianggap tidak berguna oleh petinggi partai pengusungnya dulu, gara-gara mengundurkan diri dari partai berkepala burung itu. Ahok tidak berkontribusi apa pun kepada partai pengusungnya. Ahok tidak bertata krama. Ahok tidak berterima kasih. Ahok diibaratkan sebagai “kacang lupa kulit”. Dan seterusnya.

Anggapan petinggi partai pengusungnya pasti benar. Bisa jadi, selama dua tahun menjabat sebagai wakil gubernur DKI Jakarta, Ahok kurang memberi ‘upeti’ kepada partainya. Bisa jadi pula, Ahok terlalu pelit dalam memberi kesempatan para petinggi partainya untuk mendapatkan ‘upeti’. Dan, bukankah sudah biasa, bahwa kader-kader partai harus menghidupi (baca: menafkahi) partainya, termasuk para petinggi partainya, dengan cara apa pun?

Nah, bisa jadi anggapan mengenai Ahok tadi sememangnya benar. Maksudnya, benar-benar salah kaprah. Secara materi, sangat mungkin, Ahok kurang (mungkin malah tidak) berkontribusi apa pun untuk partainya. Namun, kalau mau jujur, justru Ahok sangat berperan dalam pencitraan partai kepala burung itu. Kalau sebelumnya sempat santer berita mengenai peristiwa Mei 1998, dimana para korbannya adalah etnis Tionghoa di Jakarta, keberadaan Ahok di partai itu justru ‘mereduksi’ tudingan terhadap pendirinya.

Kalau berkaitan ‘upeti’, ‘kesempatan bermain proyek’ serta ‘memeras’ pengusaha, tentu saja biasa bagi kader-kader partai, termasuk kasus yang menjerat seorang pentolan partai ke penjara KPK. Luthfi dan Anas adalah sebagian bukti bahwa kader-kader partai diwajibkan menghidupi (baca: menafkahi) partai sekaligus petingginya. Selain itu, apabila seorang kader berada pada posisi strategis dalam birokrasi, maka kontribusi (baca: setoran) harus bisa sampai ke partai. Sayangnya, ketika KPK begitu gencar dan gesit bertindak selama kepemimpinan Abraham Samad, barulah terkuak.

Namun, apakah soal “menghidupi” partai itu pun harus-wajib dilakukan Ahok, yang lebih memikirkan kebaikan bagi rakyat DKI? Pastilah Ahok lebih memikirkan kepentingan rakyat, yang jumlahnya lebih banyak dan situasi lebih darurat daripada kepentingan (baca : rekening) partainya, apalagi sedang mengalami kebangkrutan pasca Pilpres 2014.

Yang juga terpikirkan soal ‘setoran’ kader partai adalah mengenai esensi dibentuknya sebuah partai. Kalau selama ini ternyata partai-partai politik di Indonesia dibangun untuk bisa ‘mengutip’ dana APBN atau APBD, pantaskah saban kampanye mereka berteriak-teriak “Demi Rakyat”?

Tentu sangat tidak pantas. Tetapi partai-partai ‘pendusta permanen’ memang harus ada karena politik dunia memang sarat dusta bahkan dusta permanen. Tidak hanya dusta atas nama rakyat, tetapi juga sampai dengan dusta atas nama Tuhan. Masih ingat berita “ibadah syukur”, “titisan Tuhan”, dan “mendesak Tuhan”, kan? Masih ingat partai apa saja yang mengamini semua dusta itu, kan?

Ya, begitulah. Namanya juga “kampanye” alias “berjualan”, yang ujung-ujungnya adalah kekuasaan untuk ‘menguras’ keuangan, baik keuangan negara-daerah, perusahaan-perusahaan, maupun kader-kadernya, pejabat atau kader partai bernurani semacam Ahok pastilah ‘gerah’. Apalagi kalau para petinggi partai mulai mengalami kebangkrutan, baik secara moral maupun material, keberadaan pejabat atau kader semacam Ahok pastilah akan ‘ditinjau’ ulang oleh partai pengusungnya.

Maka, keputusan Ahok untuk keluar dari partainya merupakan keputusan yang sangat tepat, selain persoalan Pilkada yang bakal kembali ke mekanisme ORBA akibat desakan para ORBA-is permanen itu. Tidak mungkin hanya gara-gara RUU Pilkadal itu. Barangkali juga keputusan tersebut sudah lebih satu tahun dipikirkan oleh Ahok, mengingat gerak-gerik orang-orang partai sudah sangat menjengahkan baginya. Dengan kata lain, akumulasi ‘sebab’ yang selalu menohok nurani Ahok. RUU Pilkadal pun dijadikan alasan jitu untuk keluar dari ‘lingkaran setan yang ketagihan setoran’.

*******

Panggung Renung Balikpapan, 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun