Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Antara Polri dan KPK

26 Januari 2015   06:22 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:22 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam konflik KPK vs POLRI, yang kata orang, sebagai konflik jilid III, tiba-tiba sebuah celetukan sampai ke telinga saya, “Mengapa rakyat membela KPK, bukannya POLRI?” Celetukan itu disebabkan oleh berita di media massa sampai media sosial akhir-akhir ini, dimana sebagian rakyat berada di Gedung KPK, Jakarta, pasca penangkapan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto.

Saya pun teringat pada berita mengenai sebagian rakyat yang berjaga-jaga di Gedung KPK pada penangkapan Penyidik KPK Novel Baswedan, Oktober 2013, yang disebut sebagai Cicak vs Buaya jilid II. Jilid I-nya adalah penangkapan mantan Ketua KPK Antasari Azhar, Mei 2009.

Istilah “Cicak vs Buaya”, seingat saya, pertama kali muncul dari pernyataan mantan Kabareskrim Susno Duadji, “Ibaratnya, polisi buaya, KPK cicak. Cicak kok mau melawan buaya.” Pada “Cicak vs Buaya Jilid I ” masuklah mantan Ketua KPK antasari Azhar ke penjara. Sejak itu “Cicak vs Buaya” menjadi terkenal, dan selalu dikaitkan dengan peristiwa konflik ‘hukum’ yang melibatkan KPK dan POLRI.

Nah, kembali ke celetukan tadi (“Mengapa rakyat membela KPK, bukannya POLRI?”). Saya tidak perlu repot-repot membuka berita usang yang masih tertera di media maya (online) soal analogi rakyat sebagai apa di antara cicak dan buaya.

Yang menjadi pemikiran naif saya, ya, sama dengan celetukan itu. Hanya saja, saya tidak perlu berpikir susah sampai harus naif. Kenyataan sehari-hari (realita dan fakta) sajalah, pertama, rakyat lebih terbiasa bertemu langsung dengan anggota KPK ataukah POLRI. Sudah pasti anggota POLRI, kan?

Kedua, bagaimana anggota POLRI bertugas secara langsung di depan rakyat, misalnya berlalu lintas, mengurus SIM, dan lain-lain. Apakah rakyat selalu mendapatkan hal-hal positif ataukah sebaliknya.

Ketiga, bila terjadi singgungan antara perusahaan dan rakyat, semisal tanah (lahan), di manakah posisi POLRI sebenarnya dalam penegakan hukum formal.

Saya pun tidak perlu repot-repot menambahkan keempat, kelima, dan seterusnya karena wawasan saya sangatlah minimalis. Cukup dengan ketiga kenyataan ‘sepele’ nan sehari-hari itu lantas bisa dipahami keberpihakan rakyat terhadap Cicak ataukah Buaya dalam perselisihan “Cicak vs Buaya”, baik jilid I maupun jilid seterusnya kelak.

*******

Panggung Renung, 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun