Sepotong rindu tergeletak di depan pintu kamarmu, kusut, menatap dengan raut muka tak tentu. Tidak ada perpisahan yang tiba-tiba pergi meski hanya bisikan di bibir dan merahasiakan seluruh ciuman yang lucu.Â
Dulu sekali, kau selalu tegar menampung seluruh catatan perjalanan sampai lupa bahwa itu adalah catatan rindu paling tabah untuk ditinggalkan dan membiarkan ia tumbuh di matamu hingga kelopaknya kembali berbunga dan bermekaran dari air matamu. Tentu saja, kau biarkan ia menghangat sama seperti kau yang hangat-hangatnya dan tak letih merindu sebab rindu meninggalkan kekosongan yang berat.
Sepotong rindu tiba-tiba saja tergeletak di pintu kamarmu. Suatu pagi kau harap Tuhan turut campur tangan, dan mengirimkan gerimis rindu biar kau terlelap dalam kantuk rindumu. "Rindu itu berat, kamu tak sanggup, biar aku saja", katamu saat kita berpisah di dada malam, linang sepi mangamini percakapan itu. "Ly, ada yang tiba-tiba menyaksikan kematian sendiri karena diinterogasi oleh rindu yang membuatnya lumpuh."
Rasanya belum lama kita tergoda untuk menyucikan diri dalam pengakuan karena rindu menuntut pengakuan, makanya sering-sering ia mengunjungimu hingga tergeletak di pintu kamar. Setiap kali kau buka pintu, rindu-rindu itu selalu saja bersorak riang seperti anak-anak kecil melihat ibu bapaknya pulang. "Hore, ayahku pulang". Bedanya, rindu tak pernah bisa dihapus detak jantungmu dan menyakinkan bahwa ada namamu dalam doanya.Â
Belum lama ada yang tiba-tiba terlanjur jujur padamu hingga berulang kali menawarkan menabung rindu dalam kaleng wafer jika rindu-rindu itu datang mengunjungimu. Mungkin itu  cara paling baik memelihara rindu yang berbulir. Kerap kali kau lupa, bahwa sepotong rindu di depan kamarmu adalah doa malamnya yang sederhana tergantung di pintu kamarmu "Ly, kamu ada alasan aku merindu".
Lewaji, 14 November 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H