Mohon tunggu...
Agustinus Maran
Agustinus Maran Mohon Tunggu... Guru - Guru Pelosok

Menulislah selagi dunia tak pernah menghakimi tulisanmu.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Di Bawah Pohon Ketapang

24 September 2021   08:32 Diperbarui: 24 September 2021   08:40 524
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

di bawah pohon ketapang kata berjingkrak, merawat segala takdir menjajakan kelenguhan. Semburan cahaya yang datang mempertemukan kita, merengkuh tiap titik singgah yang hilang dan halaman penuh yang berjejal membungkus langkah dan waktu yang lelah. Haruskah kita melangkah dengan getar dan ratap yang gantung di reranting usia?  Ataukah benar, kita hanya menyimpan kekalahan dan punya sekeranjang doa di ujung mata? 

Debu-debu beterbangan menjatuhkan buah mangga. Anak-anak berebutan di tiap perempatan. Sambil menerka tanda tanya dengan sungguh, kau merangkum dan merekam kenikmatan mereka sebagai menu santap siang. 

Di bawah pohon ketapang kita saling mengelus garis tangan yang tebal setelah semusim habis di separuh mata, tinggal memacu doa yang rindang di dada. Semestinya keheningan mengalir menjadi sangkar mengurung setiap tawa. Masih saja, kekosongan yang lapang meyakini ketakmungkinan. Persis, makan siang, kenyataan berhamburan. Setumpuk koran berisi humor, seorang bocah mencuri setiap kata dan waktu yang tak dapat diterjemahkan. Jelas-jelas, itu sepi yang sia-sia. Telah lama kata-kata mengintai di subuh sunyi buat menyungkurkan kening dan membayar tunai perjalanan yang hanya sebatas dua ratus meter. Amboi, kalender jadi renta, hanya sedikit bergantian bulan dan hari yang sama. 

Di bawah pohon ketapang, kita mengenang obituari seorang bocah yang telat ke sekolah. Sedikit mencemaskan dan kasihan sambil menaruh rasa hormat, tempat semua orang mengingat dan mebaca sajak cinta yang bening. Aku menemukan uban yang rontok nempel di kerah seragammu. "Biarkan ia berbunga di atas tubuh aku," bisikmu. Kata semakin cepat berjingkrak dan sajak cinta pun semakin banyak beriringan, sepi tak lagi sia-sia di subuh sunyi.   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun