Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan

Pencinta membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Dunia Kerja Membutuhkan Kompetensi, Bukan Sekadar Ijazah

1 Februari 2025   04:30 Diperbarui: 31 Januari 2025   18:19 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Ketika mendengar kata "pekerjaan," kita sering langsung terbayang pada kualifikasi formal seperti ijazah, sertifikat, atau nilai akademis, yang meskipun penting, sebenarnya tidak sepenuhnya mencerminkan apa yang dibutuhkan dunia kerja---kompetensi. Sayangnya, pendidikan formal di Indonesia masih terlalu berfokus pada nilai rapor dan gelar tanpa banyak menekankan pada kemampuan berpikir kritis, kerja tim, atau penyelesaian masalah nyata, sehingga banyak lulusan yang merasa gagap menghadapi dunia kerja. Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah ijazah benar-benar menjamin kesuksesan? Jawabannya tidak, karena kompetensi seperti adaptasi, komunikasi efektif, dan keahlian teknis jauh lebih menentukan, sehingga sudah waktunya kita mengalihkan fokus dari angka di atas kertas menuju pengembangan keterampilan yang relevan.

Pergeseran Kebutuhan di Dunia Kerja

Dunia kerja saat ini sedang mengalami perubahan besar. Jika dulu ijazah dan gelar menjadi "tiket emas" menuju pekerjaan impian, kini perusahaan lebih fokus pada apa yang benar-benar bisa dilakukan seseorang. Kompetensi, seperti kemampuan komunikasi yang baik, cepat beradaptasi, dan keahlian teknis yang relevan, semakin menjadi tolok ukur utama yang dicari oleh para pemberi kerja. Dunia terus bergerak cepat, dan mereka yang mampu menyesuaikan diri dengan perubahanlah yang akan bertahan. 

Di bidang teknologi, misalnya, seorang programmer atau desainer grafis tidak lagi dinilai hanya dari gelarnya. Portofolio, proyek yang pernah dikerjakan, dan cara memecahkan masalah jauh lebih penting. Hal serupa juga terjadi di industri kreatif, seperti film, musik, atau seni visual, di mana hasil karya nyata menjadi bukti kompetensi yang lebih kuat daripada sertifikat formal. Bahkan di bidang pelayanan seperti barista atau chef, keterampilan dan pengalaman langsung di lapangan lebih dihargai daripada sekadar ijazah sekolah kuliner. 

Menurut sebuah laporan dari World Economic Forum, 85 juta pekerjaan diperkirakan akan tergantikan oleh otomatisasi pada tahun 2025, tetapi pada saat yang sama, 97 juta pekerjaan baru akan tercipta, terutama di bidang yang menuntut keterampilan kreatif, analitik, dan teknis. Fakta ini menunjukkan bahwa perusahaan tidak hanya mencari individu yang berpendidikan, tetapi juga yang memiliki kemampuan praktis untuk menavigasi tantangan dunia kerja yang terus berkembang.

Singkatnya, dunia atau lapangan kerja saat ini membutuhkan lebih dari sekadar bukti formal pendidikan. Yang dituntut adalah apa yang bisa dikerjakan oleh seorang pencari kerja, bukan ijazah atau sertifikat formal. Kompetensi  adalah kunci, dan mereka yang mampu mengasahnya akan memiliki peluang lebih besar untuk sukses. 

Kesenjangan dalam Sistem Pendidikan Indonesia

Selama bertahun-tahun, sistem pendidikan Indonesia telah menetapkan nilai akademis sebagai penentu utama keberhasilan. Ujian-ujian yang penuh angka dan deretan sertifikat sering dianggap sebagai bukti valid kompetensi seseorang. Namun, apakah angka-angka itu cukup untuk menghadapi tantangan dunia kerja yang semakin dinamis? Sayangnya, jawabannya tidak selalu demikian. 

Masalahnya terletak pada minimnya pengembangan keterampilan praktis dan soft skills di sekolah maupun perguruan tinggi. Siswa diajarkan untuk menghafal teori dan mengejar nilai tinggi, tetapi jarang diajarkan bagaimana berkomunikasi secara efektif, berpikir kritis, atau bekerja dalam tim. Padahal, keterampilan-keterampilan inilah yang sangat dibutuhkan di dunia kerja. Akibatnya, banyak lulusan baru yang merasa terjebak dalam situasi di mana ijazah yang mereka perjuangkan mati-matian ternyata tidak cukup untuk memenuhi ekspektasi perusahaan atau lapangan kerja. 

Lebih parah lagi, kurikulum pendidikan kita sering berjalan lambat dibandingkan dengan perkembangan industri. Sementara perusahaan semakin membutuhkan individu yang melek teknologi, kreatif, dan adaptif, institusi pendidikan masih berkutat pada pendekatan tradisional yang kurang relevan. Hasilnya adalah kesenjangan besar antara apa yang dipelajari siswa di sekolah dan apa yang sebenarnya dibutuhkan di dunia kerja. 

Sudah saatnya kita merefleksikan kembali arah sistem pendidikan kita. Jika Indonesia ingin bersaing di tingkat global, fokusnya harus bergeser dari sekadar mengejar nilai akademis menuju pengembangan keterampilan yang lebih relevan. Dunia kerja membutuhkan individu yang tidak hanya pintar secara teoretis, tetapi juga tangguh dan siap menghadapi tantangan nyata. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun