Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan

Pencinta membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Membangun Karakter Anak dengan Tegas dan Lembut Tanpa Kekerasan

28 Januari 2025   05:20 Diperbarui: 28 Januari 2025   04:32 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Dulu, pola pendidikan keras sering digunakan oleh orang tua dan guru, dengan kekerasan fisik maupun verbal dianggap sebagai cara ampuh mendisiplinkan anak, menghasilkan banyak pribadi sukses di masyarakat. Namun, keberhasilan itu sering menyisakan luka batin, rasa takut, dan hubungan yang renggang antara anak dan pendidiknya. Seiring perkembangan zaman dan kemajuan ilmu psikologi serta pendidikan, kekerasan tidak lagi dianggap efektif, digantikan oleh pendekatan yang mengedepankan ketegasan tanpa kekerasan dengan sentuhan kelembutan. Seperti adagium Latin Fortiter in re, suaviter in modo, pendidikan yang berhasil adalah yang tegas dalam prinsip namun lembut dalam penyampaian, membangun karakter anak yang kuat tanpa melukai jiwa mereka.

Pola Kekerasan dalam Pendidikan Masa Lalu

Kalau kita mengenang cara orang tua dan guru mendidik di masa lalu, mungkin banyak yang mengingat pengalaman dengan rotan, penggaris kayu, atau hukuman berdiri di depan kelas. Saat itu, kekerasan fisik seperti pukulan di tangan atau cubitan di lengan dianggap sebagai bentuk disiplin yang wajar. Selain itu, kekerasan verbal berupa teguran keras, hinaan, atau bahkan ancaman sering digunakan untuk "mendidik" anak agar lebih patuh. Pola ini diterapkan hampir di mana-mana, baik di rumah maupun di sekolah. 

Mengapa cara ini dianggap efektif pada zamannya? Jawabannya: karena hasilnya terlihat. Banyak anak yang takut untuk melanggar aturan, rajin belajar, atau bekerja keras untuk menghindari hukuman. Para orang tua dan guru percaya bahwa kekerasan adalah alat kontrol yang ampuh untuk menciptakan generasi yang disiplin dan tangguh. Ditambah lagi, masyarakat saat itu cenderung menganggap hukuman keras sebagai tanda perhatian dan tanggung jawab. Jika anak "nakal" tetapi tidak dihukum, orang tua atau guru justru dianggap lalai. 

Namun, apa yang terjadi di baliknya? Kekerasan seperti ini sering meninggalkan jejak luka yang tak terlihat. Anak-anak mungkin tumbuh menjadi individu yang patuh, tetapi rasa takut yang mendalam juga ikut tertanam. Dalam jangka panjang, banyak yang membawa trauma emosional yang sulit dilupakan. Mereka mungkin menjadi pribadi yang sulit percaya pada orang lain, merasa tidak cukup baik, atau malah menyimpan dendam yang terpendam. Hubungan antara anak dan pendidik juga sering menjadi renggang---bukan dilandasi rasa hormat, melainkan ketakutan. 

Pola kekerasan dalam pendidikan mungkin berhasil mencetak generasi yang "berhasil," tetapi sering melupakan satu hal penting: kemanusiaan. Pendidikan bukan hanya soal hasil, tetapi juga soal proses, yaitu bagaimana anak-anak tumbuh menjadi manusia yang utuh---bukan hanya cerdas, melainkan juga bahagia dan percaya diri.

Pergeseran Paradigma

Pendidikan masa lalu sering didasarkan pada keyakinan bahwa kekerasan, baik fisik maupun verbal, adalah cara terbaik untuk mendisiplinkan anak. Namun, perkembangan ilmu psikologi dan pendidikan telah membawa perubahan besar dalam cara memandang pola asuh dan pengajaran. Para ahli mulai menyadari bahwa kekerasan bukan hanya tidak efektif dalam jangka panjang, tetapi juga dapat merusak perkembangan emosional dan mental anak. Teori-teori baru menunjukkan bahwa anak-anak belajar lebih baik dalam lingkungan yang aman dan penuh kasih, di mana mereka merasa dihargai dan dipahami. 

Dalam konteks ini, penting untuk memahami perbedaan antara 'tegas' dan 'keras.' Ketegasan adalah kemampuan untuk menetapkan aturan yang jelas dan konsisten, sambil tetap menghormati perasaan anak. Tegas berarti mengatakan "tidak" dengan alasan yang jelas, memberikan batasan, dan menjelaskan konsekuensi dengan cara yang mendidik. Sebaliknya, 'keras' sering melibatkan nada kasar, emosi yang meledak-ledak, atau hukuman yang berlebihan, yang hanya akan membuat anak merasa takut atau bingung. Dengan memahami perbedaan ini, kita dapat membangun karakter anak tanpa merusak hubungan emosional mereka. 

Selain itu, peran undang-undang dan peraturan menjadi salah satu faktor penting yang mendorong perubahan ini. Banyak negara, termasuk Indonesia, telah menetapkan aturan yang melarang kekerasan dalam pendidikan, baik di rumah maupun di sekolah. Undang-undang ini bukan hanya untuk melindungi anak dari perlakuan buruk, melainkan juga untuk mendorong para pendidik dan orang tua mencari pendekatan yang lebih positif. 

Dengan kombinasi perkembangan ilmu pengetahuan, kesadaran baru akan dampak kekerasan, dan perlindungan hukum, kita memiliki kesempatan untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang benar-benar mendukung tumbuh kembang anak. Inilah saatnya kita mengganti kekerasan dengan ketegasan yang penuh kasih, sehingga anak-anak kita dapat tumbuh menjadi individu yang kuat, percaya diri, dan berempati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun