Natal dan Tahun Baru (Nataru) di Indonesia identik dengan kemeriahan suasana, mulai dari dekorasi pohon Natal, gemerlap lampu, hingga pesta besar yang dipenuhi makanan dan hiburan. Namun, di balik kesemarakan ini, sering kali makna religius perayaan tersebut memudar; Natal, yang semestinya menjadi momen refleksi atas kelahiran Sang Juru Selamat dalam kesederhanaan, dan Tahun Baru, yang secara liturgis merayakan Maria sebagai Bunda Allah, berubah menjadi perayaan sosial yang sarat gengsi dan formalitas. Artikel ini mengajak kita kembali ke esensi sejati Nataru---menghayati kasih, kerendahan hati, dan ketaatan kepada Tuhan---agar perayaan tidak hanya meriah secara sosial tetapi juga bermakna secara spiritual.
Makna Natal dan Tahun Baru dalam Perspektif Iman
Perayaan Natal dan Tahun Baru memiliki makna mendalam dalam tradisi iman Kristiani, khususnya dalam Gereja Katolik. Berikut, pembahasan mengenai makna kedua perayaan tersebut.
Natal sebagai perayaan kesederhanaan: Kelahiran Yesus di palungan. Natal dirayakan untuk memperingati kelahiran Yesus Kristus, yang lahir dalam kesederhanaan di sebuah palungan. Kisah ini menggambarkan kerendahan hati Allah yang memilih untuk hadir di dunia dalam kondisi yang jauh dari kemewahan. Menurut Alkitab, kelahiran Yesus merupakan bentuk solidaritas Tuhan kepada manusia, di mana Allah rela menjadi sama seperti manusia untuk menyelamatkan dunia dari dosa . Hal ini mengajarkan umat Kristiani untuk meneladani kesederhanaan dan kerendahan hati dalam kehidupan sehari-hari.
Tahun Baru sebagai perayaan Maria sebagai Bunda Allah dan simbol ketaatan kepada kehendak Tuhan. Gereja Katolik merayakan Hari Raya Santa Perawan Maria Bunda Allah setiap tanggal 1 Januari. Perayaan ini menegaskan peran Maria sebagai 'Bunda Allah' (Teotokos). Gelar ini menekankan bahwa Maria adalah ibu dari Yesus Kristus, yang adalah Allah dan manusia. Ketaatan Maria terhadap kehendak Tuhan tercermin dalam penerimaannya untuk menjadi ibu Sang Penyelamat, meskipun menghadapi berbagai tantangan dan penderitaan. Sikap 'fiat' atau 'terjadilah' yang diucapkan Maria menjadi teladan bagi umat dalam menjalani hidup dengan ketaatan penuh kepada kehendak Allah.
Konteks spiritual: Penghayatan iman melalui tindakan kasih dan refleksi diri. Perayaan Naturu bukan sekadar ritual tahunan, melainkan momen untuk merenungkan dan menghayati iman melalui tindakan kasih dan refleksi diri. Natal mengingatkan umat akan kasih Allah yang begitu besar, yang mengutus Anak-Nya untuk menyelamatkan manusia. Sementara itu, Tahun Baru menjadi kesempatan untuk meneladani ketaatan dan kesetiaan Maria, serta merenungkan perjalanan hidup selama setahun yang lalu. Umat diajak untuk memperbarui komitmen iman, meningkatkan kasih kepada sesama, dan menjalani hidup sesuai dengan kehendak Tuhan.
Fenomena Perayaan Sosial di Indonesia
Perayaan Naturu di Indonesia telah berkembang menjadi fenomena sosial yang melibatkan berbagai kebiasaan dan tradisi. Berikut, pembahasan mengenai aspek-aspek tersebut.
Kebiasaan umum: Persiapan pesta besar, dekorasi mewah, dan pemberian hadiah. Menjelang Natal dan Tahun Baru, banyak keluarga di Indonesia sibuk mempersiapkan berbagai hal untuk merayakan momen ini. Persiapan tersebut meliputi pembersihan rumah, pembuatan kandang Natal, menghiasi lingkungan, pembuatan kue Natal, hingga pembelian berbagai kebutuhan Natal. Hiruk pikuk di beberapa tempat perbelanjaan merupakan konsekuensi logis dari realitas Natal dalam kultur masyarakat.
Alasan sosial: Gengsi, tradisi budaya, dan tekanan masyarakat. Fenomena konsumerisme Natal dan Tahun Baru mengancam setiap warga negara yang merayakannya. Dalam masyarakat yang bercorak konsumtif, orang mendekatkan diri dengan produk-produk industri, glamour, kehampaan, dan kekosongan nilai. Moral yang muncul di sini adalah moral hedonis yang mengedepankan kesenangan individual tanpa memerhatikan relasi sosial dengan manusia lain di sekitarnya, yang mengedepankan tanda/simbol ketimbang isi.