Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan

Pencinta membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Merajut Kain Kehidupan: Harmoni Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa Depan

12 Desember 2024   05:25 Diperbarui: 12 Desember 2024   05:42 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Waktu adalah benang tak kasat mata yang merajut setiap momen kehidupan manusia, menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan dalam pola yang kaya dan penuh makna. Ketiganya saling memengaruhi: masa lalu sebagai fondasi, masa kini sebagai titik fokus, dan masa depan membawa harapan serta motivasi. Dalam filsafat Timur, waktu dipandang sebagai siklus abadi di mana setiap tindakan saat ini dipengaruhi oleh masa lalu dan membentuk masa depan. Sebaliknya, filsafat Barat melihat waktu secara linear, dengan sejarah sebagai pelajaran dan masa depan sebagai tujuan, sementara Gereja Katolik menambahkan dimensi transenden, bahwa masa lalu diwarnai oleh dosa dan rahmat, masa kini menjadi kesempatan untuk bertemu Allah, dan masa depan membawa harapan kehidupan kekal. Artikel ini berusaha menggali keterkaitan dinamis ketiga masa tersebut dari perspektif filsafat Timur, filsafat Barat, dan Gereja Katolik untuk membantu kita menjalani hidup dengan kesadaran dan kebijaksanaan yang lebih mendalam.

Masa Lalu, Fondasi Kehidupan

Filsafat Timur, khususnya ajaran Hindu dan Buddha, memandang masa lalu sebagai penentu kehidupan sekarang melalui konsep karma, yaitu tindakan di masa lalu yang membentuk nasib di masa kini. Sarvepalli Radhakrishnan dalam Indian Philosophy (1927) menjelaskan, "Karma adalah pernyataan karakter etis dari alam semesta, menunjukkan keterkaitan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan." Dalam tradisi Buddha, karma juga dipahami sebagai sarana pembelajaran, sebagaimana Thch Nht Hnh dalam The Heart of the Buddha's Teaching (1998) menyatakan, "Memahami masa lalu adalah kunci untuk mengubah masa kini dan menciptakan masa depan yang lebih baik."

Dalam filsafat Barat, masa lalu dianggap sebagai guru yang memberikan pelajaran berharga. George Santayana dalam The Life of Reason (1905) menyatakan, "Mereka yang tidak dapat mengingat masa lalu dikutuk untuk mengulanginya." Refleksi terhadap sejarah memungkinkan manusia belajar dari kesalahan dan merancang kehidupan yang lebih baik. Ralph Waldo Emerson dalam Self-Reliance and Other Essays (1841) menekankan bahwa nilai masa lalu terletak pada bagaimana manusia menggunakannya untuk membentuk kehidupan kini. Ia menyatakan, "Apa yang ada di belakang kita dan apa yang ada di depan kita adalah hal yang sangat kecil dibandingkan dengan apa yang ada di dalam diri kita."

Dalam Gereja Katolik, masa lalu memiliki makna mendalam karena berkaitan dengan kisah penciptaan, kejatuhan manusia, dan penebusan. Dosa asal dilihat sebagai bagian dari sejarah manusia, tetapi rahmat Kristus menebus masa lalu ini, menawarkan peluang untuk memperbaiki hubungan dengan Allah (KGK 388-389). Dengan demikian, refleksi atas masa lalu menjadi sarana untuk mengalami rahmat Allah. Paus Benediktus XVI dalam Jesus of Nazareth (2007) menyatakan, "Tradisi adalah sungai yang hidup yang menghubungkan kita dengan asal-usul, sumber iman kita." Dengan mempelajari tradisi Gereja, umat Katolik dapat memahami makna masa lalu dan membangun iman yang lebih kokoh. Santo Agustinus dalam Confessions (397) menambahkan bahwa sejarah dosa dan rahmat membantu manusia mencari kedamaian dan tujuan hidup. Ia menulis, "Hati kami gelisah sampai kami bersandar pada-Mu."

Dengan demikian, baik filsafat Timur, filsafat Barat, maupun Gereja Katolik menekankan pentingnya masa lalu sebagai fondasi pembelajaran. Ketiga pandangan ini menegaskan bahwa memahami masa lalu, baik sebagai karma, refleksi historis, maupun tradisi iman, memberikan manusia kesempatan untuk memperbaiki diri, membangun kehidupan kini, dan menciptakan masa depan yang lebih bermakna.

Masa Kini, Titik Fokus

Dalam filsafat Timur, khususnya tradisi Buddha dan Zen, masa kini dianggap sebagai momen paling penting karena hanya di waktu inilah kehidupan berlangsung. Konsep mindfulness atau kesadaran penuh menjadi inti ajaran ini, sebagaimana Thch Nht Hnh dalam The Miracle of Mindfulness (1975) menegaskan, "Saat ini adalah satu-satunya waktu di mana kita memiliki kekuasaan." Praktik mindfulness melibatkan perhatian penuh terhadap setiap tindakan dan pikiran, membebaskan manusia dari beban masa lalu atau kecemasan masa depan. Ajaran ini, yang berakar pada Satipatthana Sutta, tidak hanya bersifat spiritual tetapi juga menjadi cara efektif menghadapi tantangan hidup, mengurangi stres, dan menemukan kedamaian.

Dalam filsafat Barat, terutama eksistensialisme, masa kini dilihat sebagai waktu bagi individu untuk bertanggung jawab atas pilihan dan tindakannya. Jean-Paul Sartre dalam Existentialism is a Humanism (1946) menyatakan, "Manusia tidak lain adalah apa yang dia buat dari dirinya sendiri," menekankan kebebasan sekaligus tanggung jawab untuk menciptakan makna hidup. Martin Heidegger dalam Being and Time (1927) melihat masa kini sebagai momen kesadaran akan keberadaan manusia, mengajak manusia untuk bertindak secara otentik dan hidup dengan kesadaran penuh terhadap eksistensinya di dunia.

Dalam pandangan Gereja Katolik, masa kini adalah waktu di mana Allah hadir secara nyata dalam kehidupan manusia. Paus Fransiskus dalam Evangelii Gaudium (2013) menekankan pentingnya mengenali kehadiran Allah di saat ini, mengundang umat untuk merespons dengan iman, pengharapan, dan kasih. Masa kini dianggap sebagai anugerah yang memungkinkan pertobatan, penerimaan rahmat, dan pertumbuhan dalam kasih (KGK 1430-1432). Dengan hidup dalam rasa syukur dan iman, umat Katolik diajak memanfaatkan masa kini sebagai kesempatan untuk mendekat kepada Allah.

Masa Depan, Motivasi dan Harapan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun