Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Hobi membaca dan menulis. Selain buku nonfiksi, menghasilkan tulisan narasi, cerpen, esai, artikel, yang termuat dalam berbagai media. Minat akan filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Moto: “Bukan banyaknya melainkan mutunya” yang mendorong berpikir kritis, kreatif, mengedepankan solusi dan pencerahan dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ketika Buku Paket Tak Selaras dengan Budaya Anak: Peran Guru SD dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia

5 Desember 2024   05:25 Diperbarui: 5 Desember 2024   08:37 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Buku pelajaran Bahasa Indonesia untuk sekolah dasar sering dirancang dengan pendekatan bahasa formal dan materi umum yang berlaku nasional, namun kerap tidak relevan dengan pengalaman anak-anak di berbagai daerah, seperti kosakata asing, cerita yang tidak mencerminkan kehidupan mereka, hingga ilustrasi budaya yang kurang sesuai. Ketidaksesuaian ini membuat pembelajaran terasa kurang bermakna, sehingga guru memiliki peran penting sebagai mediator untuk menjembatani ketidaksesuaian tersebut dengan mengaitkan materi buku paket dengan pengalaman dan budaya lokal anak. Artikel ini membahas peran guru dalam mengembangkan pembelajaran yang lebih menarik dan kontekstual melalui bahan ajar tambahan yang relevan dengan budaya setempat, tanpa mengabaikan wawasan global, sehingga mampu menghubungkan tradisi lokal dengan perspektif nasional dan internasional.

Ketidaksesuaian Bahasa Buku Paket dengan Dunia Anak

Karakteristik buku Bahasa Indonesia di SD: Buku Bahasa Indonesia di tingkat sekolah dasar sering berisi teks cerita, puisi, dan latihan yang dirancang secara formal dan terpusat. Menurut Emilia (Pendekatan Genre-Based untuk Pembelajaran Bahasa, 2011), kebanyakan buku paket di Indonesia menggunakan pendekatan satu arah yang lebih menekankan aspek tata bahasa daripada relevansi budaya atau konteks sosial anak. Misalnya, cerita dalam buku paket sering menggambarkan kehidupan di kota besar yang tidak akrab dengan lingkungan alam seperti gunung atau lembah, yang merupakan bagian dari keseharian banyak anak di pedesaan. Misalnya, cerita tentang "anak-anak bermain di taman kota dengan layang-layang" lebih mencerminkan pengalaman anak perkotaan dibandingkan anak di wilayah agraris yang lebih akrab dengan kegiatan seperti bercocok tanam atau bermain di alam terbuka. Kramsch (Context and Culture in Language Teaching, 1993) menekankan bahwa ketidaksesuaian konteks ini membuat anak sulit memahami cerita secara emosional karena pengalaman mereka tidak terhubung dengan isi buku.

Ketidaksesuaian dengan budaya lokal: Kosakata dan ungkapan yang digunakan dalam buku paket sering kali asing bagi anak-anak di daerah tertentu. Sibarani (Kearifan Lokal: Hakikat, Peran, dan Metodologi, 2012) mencatat bahwa penggunaan istilah yang tidak mencerminkan budaya lokal dapat menciptakan jarak emosional antara anak dan materi pembelajaran. Misalnya, istilah seperti "layang-layang di taman kota" atau lagu "Balonku Ada Lima" kurang relevan bagi anak-anak yang tumbuh di pesisir pantai atau pedalaman dengan budaya bermain yang berbeda. Anak-anak di daerah pantai mungkin lebih akrab dengan permainan layang-layang di pasir pantai, sementara anak-anak di pegunungan mungkin bermain di ladang atau hutan. Ketidaksesuaian ini sering membuat anak merasa bahwa buku tersebut tidak relevan dengan dunia mereka, sehingga motivasi belajar berkurang.

Dampak pada pembelajaran bahasa: Ketidaksesuaian bahasa dan konteks budaya dalam buku paket berdampak langsung pada pembelajaran anak. Anak-anak menjadi sulit mengaitkan materi pelajaran dengan kehidupan sehari-hari mereka, sehingga pembelajaran terasa abstrak dan membosankan. Vygotsky (Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes, 1978) menjelaskan bahwa pembelajaran yang efektif membutuhkan hubungan antara pengalaman belajar dengan kehidupan nyata anak. Jika cerita, kosakata, dan latihan dalam buku tidak relevan dengan budaya anak, maka mereka akan kehilangan minat untuk belajar. Lebih jauh, ketidaksesuaian ini dapat memengaruhi perkembangan literasi anak. Heath (Ways with Words: Language, Life and Work in Communities and Classrooms, 1983) menunjukkan bahwa anak-anak belajar bahasa dengan lebih baik ketika materi pelajaran mencerminkan dunia mereka. Buku yang tidak relevan secara budaya menciptakan hambatan psikologis yang menghalangi anak untuk terlibat aktif dalam proses pembelajaran.

Peran Guru dalam Menyesuaikan Bahasa dan Isi Buku Bahasa Indonesia

Menyederhanakan bahasa: Bahasa yang digunakan dalam buku Bahasa Indonesia sering kali dirancang dengan pendekatan formal untuk mencakup standar nasional. Namun, guru memiliki peran penting dalam menyederhanakan kosakata dan kalimat agar lebih relevan dan dapat dipahami anak. Halliday (Language as Social Semiotic, 1978) menjelaskan bahwa bahasa harus berfungsi sebagai alat komunikasi yang kontekstual dan bermakna bagi penggunanya. Guru dapat mengganti kosakata asing atau rumit dengan istilah yang lebih akrab di telinga anak-anak. Misalnya, frasa dalam buku seperti "sepedanya meluncur di aspal" dapat diubah menjadi "sepedanya melintasi jalan kampung" untuk lebih sesuai dengan kehidupan anak-anak yang tinggal di pedesaan. Langkah ini membantu anak lebih mudah memahami makna cerita dan merasa terhubung dengan materi pembelajaran. Menurut Emilia  (2011), adaptasi bahasa semacam ini juga memperkuat kemampuan anak untuk berpikir kritis melalui pengenalan konteks yang relevan.

Mengaitkan isi dengan kehidupan anak: Isi buku Bahasa Indonesia sering kali mencakup cerita yang generik atau terlalu urban sehingga tidak mencerminkan realitas anak-anak di daerah tertentu. Guru dapat mengaitkan isi buku dengan pengalaman dan kehidupan lokal anak-anak. Misalnya, jika buku memuat cerita tentang "lomba membaca puisi" di aula sekolah, guru dapat mengganti setting cerita dengan upacara adat yang sudah dikenal oleh anak-anak, seperti acara penyambutan tamu dalam budaya lokal. Vygotsky (1978) menekankan bahwa pembelajaran yang bermakna terjadi ketika materi pelajaran dapat dikaitkan dengan pengalaman nyata anak. Dengan menggunakan cerita lokal, guru tidak hanya membuat pembelajaran lebih relevan, tetapi juga membantu anak-anak memahami pentingnya budaya mereka dalam konteks pembelajaran formal. Hal ini juga diperkuat oleh Kramsch (1993), yang menyebutkan bahwa mengaitkan pembelajaran dengan budaya lokal membantu meningkatkan keterlibatan siswa dan memperkuat rasa identitas mereka.

Memberikan konteks tambahan: Ketika buku paket memperkenalkan kosakata atau konsep baru yang tidak dikenal oleh anak-anak, guru dapat memberikan konteks tambahan untuk membantu pemahaman. Hal ini dapat dilakukan dengan menjelaskan makna kosakata baru menggunakan contoh yang relevan dengan budaya lokal. Misalnya, istilah "kios kecil di pinggir jalan" dapat dijelaskan dengan menyebutkan warung tradisional yang biasa mereka temui.  Lebih jauh, guru juga dapat membuat buku suplemen sebagai pelengkap buku paket. Buku suplemen ini berisi cerita, puisi, atau latihan yang mencerminkan budaya lokal tanpa menggantikan fungsi utama buku paket. Menurut Sibarani (2012), pengintegrasian budaya lokal ke dalam pembelajaran membantu anak-anak memahami bahwa bahasa adalah alat untuk menyuarakan identitas mereka. Selain itu, Heath (1983) mencatat bahwa memberikan konteks tambahan yang relevan secara budaya mendorong keterlibatan siswa dalam pembelajaran dan meningkatkan kemampuan literasi mereka secara menyeluruh.

Strategi Guru dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia yang Kontekstual

Menggunakan pendekatan tematik: Pendekatan tematik yang hangat dan berfokus pada pengalaman nyata anak-anak dapat membuat pembelajaran bahasa Indonesia terasa jauh lebih hidup dan menyenangkan. Dengan mengaitkan pelajaran dengan tema-tema yang dekat, seperti lingkungan yang subur, keluarga yang penuh kasih, atau tradisi lokal yang kaya, guru menciptakan suasana belajar yang relevan dan menggugah rasa ingin tahu. Menurut Bruner (The Culture of Education, 1996), pembelajaran yang terhubung dengan pengalaman sehari-hari lebih mudah dipahami karena anak dapat membangun makna melalui konteks yang sudah dikenal. Sebagai contoh, tema tentang "keluarga" bisa diisi dengan cerita tentang kehidupan sehari-hari anak di rumah, sedangkan tema "tradisi lokal" dapat mengangkat kisah adat yang kaya nilai moral. Strategi ini tidak hanya memperkuat kemampuan berbahasa, tetapi juga menanamkan penghargaan mendalam terhadap identitas budaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun