Tekad yang Semakin Kuat
Josefa duduk sendirian di perpustakaan kampus IPB, buku-buku tebal tentang pertanian modern terbuka di meja di depannya. Suasana perpustakaan yang tenang dan penuh dengan aroma buku-buku lama memberinya waktu untuk merenung. Dia memandang keluar jendela, memikirkan perjalanan panjangnya sejak pertama kali terinspirasi oleh ubi-ubi besar di Kampung Tabonji hingga sekarang, di kota Bogor yang asing baginya.
Di tengah kesibukannya belajar dan menghadapi tugas-tugas kuliah yang menumpuk, Josefa merasakan tekadnya semakin menguat. Setiap hari, dia menyerap ilmu pengetahuan baru tentang teknik bercocok tanam, pemuliaan tanaman, dan penggunaan teknologi dalam pertanian. Meskipun terkadang merasa tertekan dengan tingginya standar akademik di IPB, Josefa tidak pernah menyerah.
"Josefa, kamu masih di sini?" Suara Didimus, sahabatnya, membuyarkan lamunannya.
"Iya, Didimus. Aku sedang menyelesaikan tugas tentang teknik irigasi," jawab Josefa sambil tersenyum lelah.
"Jangan terlalu memaksakan diri. Istirahatlah sebentar," Didimus menasihati sambil duduk di sebelahnya. "Kamu sudah bekerja keras. Ingat, kesehatanmu juga penting."
Josefa mengangguk. "Terima kasih, Didimus. Kadang aku merasa terlalu terbebani dengan semua ini, tapi aku harus kuat. Aku punya mimpi besar untuk kampung kita."
Didimus tersenyum penuh pengertian. "Aku tahu itu. Dan kami semua bangga padamu. Ingat, kamu tidak sendirian. Kami semua mendukungmu."
Setiap kali merasa lelah atau putus asa, Josefa mengingat panggilan video dari ibunya yang penuh dengan dukungan, pesan singkat dari ayahnya yang menguatkan semangat, dan paket-paket makanan khas dari kampung halamannya yang dikirimkan oleh saudara-saudaranya. Semua itu menjadi pendorong yang membangkitkan semangatnya untuk terus maju.
"Mama selalu bilang bahwa keberhasilan itu tidak pernah datang tanpa usaha yang keras," kata Josefa sambil membuka salah satu pesan dari ibunya di ponsel. "Dan aku ingin membuktikan bahwa aku bisa."