Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan

Pencinta membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Bahasa yang Merangkul: Keakraban Tersembunyi dalam Setiap Kata Daerah

11 November 2024   06:05 Diperbarui: 11 November 2024   07:43 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Peran Penyesuaian Pragmatis dalam Komunikasi

Penyesuaian pragmatis dalam komunikasi adalah kemampuan seseorang untuk menyesuaikan gaya, nada, dan pilihan kata sesuai konteks dan lawan bicara, demi menciptakan kenyamanan dan memperkuat hubungan sosial. Howard Giles dalam Communication Accommodation Theory: Negotiating Personal and Social Identities across Contexts (2016) menyebutkan bahwa "penyesuaian komunikasi, baik verbal maupun nonverbal, memungkinkan terjalinnya hubungan yang harmonis dengan mengurangi jarak sosial." Menyesuaikan bahasa dan gaya bicara menunjukkan niat baik dan keinginan untuk terhubung lebih erat.

Prinsip kesantunan dan penyesuaian komunikasi untuk menjalin hubungan baik: Prinsip kesantunan dalam komunikasi membantu menjaga harmoni sosial, terutama di tengah perbedaan budaya. Brown & Levinson dalam Politeness: Some Universals in Language Usage (1987) menyebut kesantunan sebagai strategi untuk menjaga harga diri lawan bicara, baik dengan menunjukkan penghargaan maupun menghindari sikap yang dapat dianggap kurang sopan. Penyesuaian dalam komunikasi memungkinkan keseimbangan antara kesantunan dan efektivitas, menunjukkan penghormatan terhadap latar belakang budaya lawan bicara. Contohnya, berbicara dengan nada rendah kepada orang yang lebih tua atau menggunakan bahasa formal. Giles & Powesland (1975) menekankan bahwa komunikasi ramah dan disesuaikan mengurangi jarak sosial, memperkuat kesan positif, dan membangun hubungan lebih erat.

Menggunakan bahasa daerah sebagai strategi penyesuaian memperlihatkan empati: Bahasa daerah sering digunakan sebagai strategi penyesuaian dalam interaksi untuk menunjukkan empati. Dalam komunikasi lintas budaya atau dengan orang dari latar belakang daerah tertentu, bahasa daerah memperlihatkan niat baik dan penghormatan. Richard Young dalam Language Socialization and Communication in Context (2009) menyebut penyesuaian bahasa sebagai cara efektif membangun koneksi emosional dengan menunjukkan pemahaman terhadap budaya lawan bicara. Penggunaan bahasa daerah atau sapaan lokal menjadi simbol empati dan penghargaan terhadap identitas seseorang, memudahkan penerimaan dan penghormatan dari komunitas setempat. Empati melalui bahasa daerah dapat meningkatkan persepsi positif, membuka jalan bagi interaksi yang lebih terbuka dan bersahabat.

Dampak langsung pada efektivitas dan kelancaran dalam urusan atau negosiasi: Penyesuaian pragmatis berperan penting dalam efektivitas bisnis dan negosiasi. Edward Hall dalam Beyond Culture (1976) menyatakan bahwa komunikasi lintas budaya yang sukses memerlukan pemahaman konteks dan norma budaya, termasuk bahasa yang tepat. Penggunaan bahasa daerah dapat mengurangi hambatan psikologis dan menciptakan suasana terbuka, mempermudah proses negosiasi. Penyesuaian budaya menunjukkan penghargaan yang tulus dan memudahkan penerimaan, mempercepat kesepakatan dan mengurangi konflik. Lawrence Rosen dalam Bargaining for Reality: The Construction of Social Relations in a Muslim Community (1984) juga mencatat bahwa penyesuaian komunikasi dalam negosiasi mencerminkan kepekaan sosial dan dapat menghasilkan keputusan yang saling menguntungkan.

Indeksikalitas dan Makna Sosial di Balik Bahasa Daerah

Bahasa daerah tidak hanya berfungsi sebagai sarana komunikasi verbal, tetapi juga membawa makna sosial yang lebih dalam melalui fenomena yang disebut "indeksikalitas." Konsep ini mengacu pada makna tersirat yang melekat pada kata atau ungkapan tertentu, yang merujuk pada konteks sosial, identitas, atau norma budaya. Menurut peneliti Michael Silverstein, dalam Indexical Order and the Dialectics of Sociolinguistic Life (2003), indeksikalitas adalah ketika unsur bahasa mengandung informasi tentang latar belakang sosial atau identitas pembicara, menciptakan makna yang melampaui arti harfiah kata tersebut.

Bagaimana bahasa daerah mengandung makna sosial lebih dari sekadar kata-kata: Indeksikalitas dalam sosiolinguistik mengacu pada bagaimana kata-kata tidak hanya menyampaikan makna literal, tetapi juga menunjukkan identitas sosial seperti asal, kelas, atau etnisitas. Penggunaan bahasa daerah memperkuat ikatan emosional dengan menunjukkan keanggotaan sosial dan afiliasi budaya pembicara. Peneliti seperti Silverstein dan Agha Asif (Language and Social Relations, 2007) menekankan bahwa setiap bahasa daerah memiliki indeksikalitas unik yang menjadi tanda pengenal budaya. Melalui indeksikalitas, bahasa daerah membangun solidaritas dan memperjelas peran sosial pembicara dalam masyarakat.

Bahasa daerah sebagai sarana memahami konteks budaya, norma, dan humor lokal: Bahasa daerah mencakup unsur budaya dan norma yang sering sulit diterjemahkan, memungkinkan akses ke esensi budaya lokal seperti humor, adat, dan nilai-nilai. Ungkapan khusus yang mengandung humor atau sindiran, misalnya, hanya dapat dipahami jika lawan bicara mengerti konteks budaya tersebut. Menurut Erving Goffman dalam The Presentation of Self in Everyday Life (1959), interaksi sosial memerlukan pemahaman atas "aturan tak terlihat" dalam masyarakat. Berbicara dalam bahasa daerah membantu seseorang mengakses pengetahuan bersama yang terbentuk dari interaksi sehari-hari dalam konteks lokal.

Contoh pengalaman bahasa daerah menjadi "jembatan" dalam komunikasi: Bahasa daerah sering berfungsi sebagai "jembatan" untuk menciptakan kedekatan emosional dan menyelesaikan situasi dengan cepat. Contohnya, seorang teman menggunakan bahasa Bali ketika berhadapan dengan polisi Bali di Flores, menciptakan suasana akrab yang mempercepat penyelesaian masalah. Kedekatan budaya yang terjalin melalui bahasa daerah ini menunjukkan kesamaan identitas yang memperlancar interaksi, hingga akhirnya permintaan teman tersebut dikabulkan. Janet Holmes dalam An Introduction to Sociolinguistics (2013) menjelaskan bahwa penggunaan bahasa akrab seperti bahasa daerah meningkatkan penerimaan sosial karena menunjukkan afiliasi budaya yang mengurangi hambatan formalitas, mempercepat rasa hormat dan kepercayaan dalam komunikasi.

Uraian di atas menunjukkan, bahasa daerah memiliki kekuatan khusus dalam membangun keakraban dan menghilangkan hambatan komunikasi dengan menghubungkan makna sosial, budaya, dan empati yang mendalam di balik kata-katanya. Penggunaan bahasa daerah bukan hanya menunjukkan penghormatan terhadap identitas orang lain, tetapi juga mendekatkan kita pada kebudayaan mereka, menciptakan komunikasi yang lebih cair dan mudah diterima. Pada akhirnya, bahasa daerah adalah simbol kehangatan dan identitas manusia, merawat keberagaman dan memperkuat hubungan sosial yang autentik di tengah masyarakat. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun