Cahaya sering menjadi simbol kekuatan, inspirasi, dan harapan dalam hidup, dan ungkapan "Jadilah terang" mengandung harapan agar setiap individu menjadi kekuatan positif di lingkungannya. Namun, menjadi terang sejati berarti tidak hanya berusaha bersinar sendiri, tetapi juga memastikan bahwa kita tidak memadamkan cahaya orang lain dalam prosesnya. Prinsip "Jadilah terang tanpa memadamkan cahaya orang lain" mendorong kita untuk menjadi sumber inspirasi yang mendorong harmoni dan kolaborasi, terutama bagi para pemimpin dalam bidang sosial dan politik yang memiliki pengaruh besar. Tantangan terbesar dalam kepemimpinan adalah menghindari godaan untuk bersinar di atas orang lain, dan mengesampingkan peran orang lain, padahal keberhasilan sejati seorang pemimpin tercermin dari kemampuannya menginspirasi dan mendukung orang-orang di sekitarnya. Pemimpin yang bijak tidak hanya fokus pada prestasi pribadi, tetapi juga membangun kekuatan kolektif, sehingga setiap individu merasa berdaya, dan sinar bersama ini akan membawa dampak terbesar bagi kemajuan bersama.
Makna Menjadi Terang dalam Kepemimpinan
Pemimpin sebagai sumber inspirasi: Dalam kepemimpinan, menjadi terang berarti menjadi sumber inspirasi, tempat orang-orang melihat arah, kekuatan, dan harapan. Pemimpin adalah sosok yang membawa semangat, membimbing, dan memotivasi, membantu orang-orang di sekitarnya untuk menemukan dan mengembangkan potensi terbaik mereka. Menjadi terang dalam kepemimpinan berarti tidak hanya menunjukkan arah, tetapi juga mendampingi orang lain dalam proses mereka meraih pencapaian yang lebih tinggi. Menurut John C. Maxwell, seorang pakar kepemimpinan, dalam The 21 Irrefutable Laws of Leadership (1998), " Seorang pemimpin adalah orang yang tahu jalan, menempuh jalan, dan menunjukkan jalan." Dalam pandangannya, seorang pemimpin yang baik tidak hanya memahami arah yang benar, tetapi juga menjadi contoh dan membimbing orang lain untuk mengikuti jalan tersebut. Pemimpin yang seperti ini tidak sekadar memimpin, tetapi menginspirasi, membuat orang lain ingin bergerak maju, dan menjadi lebih baik.
Risiko kesombongan dalam kepemimpinan: Di sisi lain, kepemimpinan yang tidak dikelola dengan bijaksana dapat dengan mudah terjerumus dalam jebakan kesombongan. Ketika seorang pemimpin terfokus pada prestasi pribadi atau kekuasaan, ia bisa saja menempatkan dirinya di atas orang lain, memandang rendah kontribusi pihak lain, dan pada akhirnya meredupkan cahaya kolektif yang seharusnya tumbuh bersama. Kesombongan ini, menurut Aristoteles, adalah salah satu bentuk excess, atau kelebihan yang berbahaya dalam moralitas. Ia menjelaskan bahwa "Kelebihan adalah kegagalan dalam kebaikan yang dapat kita cita-citakan sebagai pemimpin." Bagi Aristoteles, keberlebihan, termasuk dalam bentuk kesombongan, adalah kegagalan moral yang menjauhkan seorang pemimpin dari sifat-sifat baik. Dalam Compendium of the Social Doctrine of the Church ditegaskan pentingnya rendah hati dan keterbukaan dalam kepemimpinan, agar pemimpin tidak jatuh dalam godaan untuk "menjadi superior atas orang lain, melainkan menjadi pelayan yang membangun kebersamaan dan kedamaian." Dengan mengesampingkan ego dan fokus pada pelayanan, seorang pemimpin dapat menghindari sikap arogan yang dapat menghancurkan kerja sama dan meredupkan potensi orang lain. Kesombongan, pada akhirnya, bisa membuat seorang pemimpin kehilangan perspektif yang sehat dan melupakan kontribusi orang-orang di sekitarnya. Sikap ini menimbulkan atmosfer negatif, mengurangi semangat kolaborasi, dan merusak integritas kepemimpinan.
Menjaga Keseimbangan antara Bersinar dan Mendukung
Keseimbangan antara capaian pribadi dan kontribusi kolektif: Dalam kepemimpinan, keseimbangan antara pencapaian pribadi dan kontribusi kolektif merupakan hal yang esensial. Seorang pemimpin yang bijaksana tahu bahwa keberhasilan besar tidak mungkin dicapai tanpa upaya kolektif. Oleh karena itu, seorang pemimpin yang baik akan menghargai kontribusi semua pihak yang terlibat dalam mencapai suatu tujuan. Menurut Stephen R. Covey, dalam The 7 Habits of Highly Effective People (1989), " Kekuatan terletak pada perbedaan, bukan pada persamaan." Keberagaman dan kontribusi setiap individu adalah fondasi bagi keberhasilan kolektif. Dalam pandangan ini, seorang pemimpin harus mengakui kekuatan yang dibawa oleh setiap individu dan menghargai kontribusi mereka, alih-alih fokus pada pencapaian diri sendiri. Dokumen Gaudium et Spes (1965) menegaskan bahwa "Setiap manusia diciptakan dalam kesatuan dan keterbukaan terhadap sesamanya". Dalam konteks kepemimpinan, hal ini berarti bahwa setiap pencapaian hendaknya tidak hanya dilihat sebagai hasil dari satu individu, tetapi juga sebagai hasil kolaborasi dari seluruh komunitas atau tim. Dengan demikian, seorang pemimpin perlu menghindari ambisi pribadi yang berlebihan dan fokus pada kesuksesan bersama sebagai bukti bahwa mereka juga menghargai dan mendukung peran orang lain.
Mengenali cahaya yang redup di sekitar: Seorang pemimpin yang peka memiliki kemampuan untuk mengenali individu-individu di sekitarnya yang mungkin sedang berjuang atau cahayanya mulai meredup. Kepedulian ini penting karena setiap anggota tim memegang peran yang unik dalam kesuksesan bersama. Bren Brown, dalam Braving the Wilderness (2017), menyatakan bahwa "Rasa memiliki yang sejati tidak mengharuskan kita untuk mengubah diri kita; rasa memiliki mengharuskan kita untuk menjadi diri kita sendiri." Pemimpin yang baik mampu membuat setiap anggota tim merasa diterima apa adanya. Dengan menciptakan lingkungan yang mendukung, pemimpin dapat memberi ruang bagi mereka yang mengalami kesulitan untuk menemukan kembali keyakinan dan semangat mereka, tanpa merasa perlu menyembunyikan keadaan mereka yang sebenarnya.
Memberikan dukungan, bukan dominasi: Untuk menjadi pemimpin yang sejati, mendukung pertumbuhan orang lain adalah kunci, tanpa mengambil alih atau mendominasi peran mereka. Pemimpin yang bijaksana memberikan ruang bagi setiap individu untuk tumbuh dan berkontribusi sesuai dengan bakat dan potensinya. Edgar Schein dalam Humble Inquiry (2013) menekankan pentingnya "mendukung daripada mendikte". Menurutnya, " Membantu orang lain untuk bertumbuh berarti menunjukkan rasa ingin tahu tentang siapa mereka dan apa yang ingin mereka capai, daripada memaksakan keyakinan kita tentang potensi mereka." Dengan pendekatan ini, pemimpin dapat mendukung anggota tim untuk berkembang sesuai dengan potensi mereka, alih-alih mengambil peran dominan yang dapat menekan kreativitas dan inovasi mereka. Para pemimpin harus selalu menempatkan kebutuhan dan pertumbuhan orang lain di atas ambisi pribadi. Ini berarti bahwa pemimpin yang baik memberi dukungan yang mendorong orang lain untuk berkembang, alih-alih mengambil peran dominan yang justru bisa menghalangi potensi mereka. Dengan memberikan dukungan alih-alih dominasi, seorang pemimpin menunjukkan bahwa kepemimpinan adalah tentang membimbing dan memperkuat, bukan sekadar mengarahkan atau mengambil alih. Pemimpin yang demikian tidak hanya bersinar sendiri, tetapi juga mampu memancarkan sinar kebijaksanaan dan kasih yang menguatkan orang-orang di sekitarnya.
Praktik Memelihara Harmoni dalam Terang
Membangun budaya penghargaan dan pemberdayaan: Untuk memelihara harmoni dalam kepemimpinan, menciptakan budaya penghargaan dan pemberdayaan adalah langkah penting yang dapat dilakukan oleh pemimpin. Budaya penghargaan ini berfokus pada pengakuan terhadap kontribusi individu, sekecil apa pun, yang memungkinkan semua orang merasa dihargai dan termotivasi. Melalui apresiasi yang tulus, pemimpin dapat membangkitkan semangat dan dedikasi yang berkelanjutan. Menurut Daniel H. Pink, dalam Drive: The Surprising Truth About What Motivates Us (2009), pemberdayaan individu adalah kunci untuk meningkatkan produktivitas dan kepuasan kerja. Ia menegaskan, "Rahasia kinerja tinggi bukanlah dorongan biologis kita atau wortel dan tongkat penghargaan dan hukuman, tetapi keinginan kita yang mendalam untuk mengarahkan hidup kita sendiri, untuk memperluas dan mengembangkan kemampuan kita, dan untuk memberikan kontribusi." Dengan menghargai dan memberdayakan orang lain, pemimpin tidak hanya meningkatkan kinerja mereka, tetapi juga memberi ruang bagi mereka untuk tumbuh dan berkembang secara mandiri. Paus Fransiskus dalam Evangelii Gaudium (2013) mendorong agar kita menghormati setiap orang sebagai bagian yang berharga dalam tubuh Kristus dan melihat setiap orang dengan penuh kasih sayang. Ia menegaskan, "Solidaritas memerlukan lebih dari sekadar terlibat dalam tindakan kedermawanan yang sporadis. Hal ini berarti berpikir dan bertindak dalam kerangka komunitas." Dalam ajaran ini, pemimpin diajak untuk tidak hanya sekadar memberi penghargaan secara temporer, tetapi membangun hubungan yang memperkuat solidaritas dan pemberdayaan di dalam komunitas.
Contoh nyata dalam kepemimpinan: Pemimpin sosial dan politik yang berhasil mempraktikkan prinsip ini sering menunjukkan kemampuan untuk bekerja sama dalam inisiatif kolaboratif dan mendukung sinar orang lain. Contohnya, mantan Presiden Uruguay Jos Mujica dikenal sebagai pemimpin yang sederhana dan menginspirasi orang di sekitarnya. Ia mempromosikan kesetaraan dan kerja sama, sering menyatakan bahwa kekuasaan sejati adalah untuk melayani. Mujica mendorong masyarakat untuk berperan serta dalam membangun bangsa dengan memberi ruang bagi semua untuk berkembang. Sementara itu, mantan Kanselir Jerman Angela Merkel memimpin dengan pendekatan kolaboratif dan mendengarkan. Dengan membangun konsensus, Merkel mengutamakan kepentingan kolektif dan berhasil membantu Jerman melewati berbagai tantangan, menunjukkan bahwa kepemimpinan sejati berlandaskan empati dan kerja sama.