Setiap tanggal 1 November, Gereja Katolik merayakan Hari Raya Semua Orang Kudus, momen khusus untuk menghormati semua pribadi yang telah mencapai kekudusan di hadapan Allah. Hari penuh syukur ini mengakui kemuliaan para kudus dari berbagai zaman, budaya, dan bangsa, termasuk mereka yang menjalani hidup dalam kesetiaan tersembunyi tanpa kanonisasi resmi. Tulisan ini mengajak kita memahami kekudusan dan melihat para kudus sebagai teladan serta sahabat rohani yang mendekatkan kita kepada Allah. Kita diundang untuk menjadikan kekudusan sebagai tujuan hidup, mengikuti jejak mereka dalam hidup benar dan suci di hadapan Allah.
Makna Kekudusan dalam Gereja Katolik
Menurut Gereja Katolik, kekudusan merupakan panggilan untuk hidup dalam kesatuan dengan Allah melalui iman, kasih, dan perbuatan baik. Kekudusan bukanlah sekadar mengikuti aturan moral atau menjalani kehidupan yang baik, melainkan keterarahan hati dan jiwa kepada Tuhan. Katekismus Gereja Katolik (KGK) menjelaskan bahwa kekudusan berarti "menjadi sempurna seperti Bapa di surga adalah sempurna" (KGK 2013). Artinya, kekudusan adalah respons terhadap kasih Allah yang pertama-tama mengasihi kita dan mengundang kita untuk hidup selaras dengan kehendak-Nya. Henri J.M. Nouwen, dalam The Inner Voice of Love: A Journey Through Anguish to Freedom (2006), menyatakan bahwa kekudusan sejati adalah "mengenali kehadiran Allah dalam kehidupan sehari-hari dan menjalani hidup yang diresapi kasih."
Dalam konteks ini, kekudusan bukan berarti mencapai status moral tanpa cela, melainkan mengusahakan keintiman dengan Allah dan membiarkan kasih-Nya menyempurnakan kita. Rasul Petrus menekankan panggilan untuk kekudusan, "Tetapi hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu" (1 Ptr 1:15-16). Kekudusan adalah panggilan yang tak terbatas pada imam, biarawan, atau biarawati, melainkan sebuah panggilan universal yang dihadirkan bagi setiap umat beriman. Konsili Vatikan II menekankan bahwa setiap orang, baik di dalam kondisi hidup apa pun, dipanggil kepada kekudusan. "Setiap umat beriman, melalui rahmat baptisan, dipanggil untuk mencapai kekudusan dan kesempurnaan hidup sesuai dengan situasi hidupnya masing-masing" (Lumen Gentium, 40). Dengan demikian, kekudusan merupakan jalan kehidupan bagi semua orang, baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari Tubuh Mistik Kristus.
Paus Fransiskus, dalam Gaudete et Exsultate (2018) juga menekankan bahwa kekudusan merupakan panggilan bagi setiap orang, di tengah keseharian. "Kekudusan bukan hanya untuk para pahlawan iman, melainkan juga untuk mereka yang hidup dalam kesederhanaan dan kesetiaan dalam tugas harian mereka." Yesus sendiri menegaskan hal ini melalui Sabda Bahagia (Mat 5:3-12), yang menggambarkan karakteristik jiwa-jiwa yang menuju kekudusan. Selain itu, Santo Agustinus menegaskan, "Kekudusan adalah tujuan yang diperjuangkan dengan rendah hati, bukan untuk penghargaan dunia, tetapi untuk kesatuan dengan Allah."
Para Kudus sebagai Teladan Hidup dan Iman
Para kudus dalam Gereja Katolik berasal dari berbagai latar belakang, profesi, dan kondisi kehidupan, mencerminkan beragam cara untuk mengikuti Kristus. Ada para martir yang mengorbankan nyawa demi iman, biarawan dan biarawati yang hidup dalam doa dan pelayanan, serta mereka yang menjalani hidup dalam peran orang tua, pegiat sosial, atau pemimpin masyarakat. Melalui keberagaman ini, Gereja menegaskan bahwa kekudusan tidak terbatas pada satu bentuk kehidupan tertentu, tetapi terbuka untuk setiap orang, apa pun profesi dan kondisinya.
Paus Yohanes Paulus II (2002) mengatakan, "Kekudusan adalah jawaban atas kasih Allah, dan kasih ini memanggil setiap orang dalam keberadaannya masing-masing untuk merangkul panggilan yang unik dan berharga." Sebagai hasilnya, kisah hidup para kudus menjadi inspirasi bagi umat beriman dari semua lapisan masyarakat, mengajarkan bahwa kasih dan pelayanan kepada Allah dapat diwujudkan melalui jalan hidup apa pun. Surat kepada orang Ibrani menggambarkan para kudus sebagai "awanan saksi" (Ibr 12:1) yang mendampingi dan mendorong kita untuk tetap teguh dalam iman. Mereka adalah pribadi-pribadi dari segala zaman yang memberikan hidup mereka demi Kristus dan menjadi teladan bagi umat beriman di sepanjang sejarah Gereja.
Beberapa orang kudus ternama menunjukkan bahwa kekudusan dapat diwujudkan dengan berbagai cara. Santo Fransiskus dari Assisi, yang meninggalkan kekayaan untuk hidup dalam kemiskinan, mengajarkan bahwa kemiskinan mendekatkan diri kepada Allah dengan melepaskan hal-hal duniawi. Santa Teresa dari Lisieux, "Bunga Kecil," menunjukkan bahwa kekudusan tercapai melalui kasih dalam hal-hal kecil sehari-hari, menekankan bahwa ketulusan dalam tindakan sederhana adalah jalan menuju kekudusan. Santo Ignasius Loyola, setelah mengalami pertobatan, mendirikan Serikat Yesus (Yesuit) dan mengajarkan penyerahan diri serta memuliakan Allah dalam segala hal. Para kudus ini, dalam kehidupan dan panggilan masing-masing, menjadi saksi akan kasih Allah yang bekerja dalam keragaman. Mereka adalah teladan bahwa kekudusan tidak hanya untuk orang-orang tertentu, tetapi bisa diwujudkan dalam berbagai cara. Mengikuti contoh mereka, kita dipanggil untuk melangkah dalam iman yang berakar pada kasih kepada Allah dan sesama.
Bantuan Para Kudus dalam Kehidupan Umat Beriman
Dalam Gereja Katolik, para kudus dianggap sebagai sahabat rohani dan pembela bagi umat beriman di dunia. Mereka yang telah bersatu dengan Allah melalui kekudusan dapat menawarkan doa dan syafaat bagi kita yang masih dalam perjalanan iman. Katekismus Gereja Katolik (KGK) mengajarkan bahwa para kudus, sebagai bagian dari persekutuan para kudus, "terus ikut serta dalam kehidupan kita, berdoa bagi kita, dan mendukung kita dengan cinta mereka" (KGK 956).