Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan

Pencinta membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Tahu dan Tempe, Kisah Pembelajaran tentang Gizi di Seminari Tinggi Ritapiret

29 Oktober 2024   06:05 Diperbarui: 29 Oktober 2024   07:13 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Seminari Tinggi Santo Petrus Ritapiret di Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur, adalah lembaga pendidikan rohani untuk calon imam. Di sini, para frater memperdalam panggilan hidup mereka demi pelayanan Gereja. Pada tahun 1981, terjadi perubahan besar ketika Suster Clarita, seorang biarawati dari Kongregasi Fransiskanes Semarang dan ahli gizi, mulai mengelola dapur seminari dan memperkenalkan tahu serta tempe ke dalam menu harian. Meskipun kedua makanan ini sudah lama dikenal di Jawa, bagi para frater di Flores---yang terbiasa dengan jagung, ubi, dan ikan---tahu dan tempe terasa asing dan tidak menarik. Awalnya, banyak frater menolak mencicipinya, tetapi melalui pendekatan edukatif dan sabar dari Suster Clarita, perlahan mereka belajar menerima makanan bergizi tersebut.

Perkenalan Makanan Tahu dan Tempe

Kehadiran Suster Clarita di Seminari Ritapiret membawa perubahan signifikan dalam pola makan para frater. Dengan latar belakangnya di Rumah Sakit Santa Elisabet, Semarang, ia memperkenalkan tahu dan tempe, makanan berbasis kedelai yang kaya protein dan bermanfaat bagi kesehatan. Tahu dan tempe terkenal sebagai sumber protein nabati yang lengkap, rendah lemak, kaya serat, dan lebih sehat dibandingkan daging. Namun, pengenalan tahu dan tempe ini awalnya ditolak oleh para frater. Mereka merasa asing dengan rasa dan tekstur makanan tersebut, sesuai dengan teori Claude Lvi-Strauss yang menyatakan bahwa makanan mencerminkan makna budaya (The Raw and the Cooked (1964). 

Tahu dan tempe tidak memiliki makna budaya bagi masyarakat Flores, sehingga reaksi penolakan muncul sebagai bentuk keterikatan pada tradisi lokal. Makanan pokok di Flores lebih mengandalkan jagung, ubi, dan ikan, yang mencerminkan budaya agraris masyarakat setempat. Jagung dan ubi kayu merupakan makanan sehari-hari yang sudah menjadi bagian dari kehidupan lokal. Di sisi lain, tahu dan tempe, yang berasal dari fermentasi kedelai di Jawa, dianggap asing bagi frater yang terbiasa dengan makanan hasil bumi sendiri. Perbedaan ini menunjukkan dua budaya makanan yang berbeda, sesuai dengan pandangan Francis Zimmermann bahwa sistem makanan masyarakat sangat bergantung pada lingkungan dan sumber daya lokal (The Jungle and the Aroma of Meats, 1987). Masyarakat Flores terbiasa dengan hasil bumi dan laut, sementara tahu dan tempe adalah produk fermentasi yang tidak lazim.

Namun, melalui edukasi gizi yang diberikan oleh Suster Clarita, para frater mulai membuka diri terhadap makanan baru ini. Mereka belajar memahami bahwa meskipun berbeda dari makanan lokal, tahu dan tempe memiliki manfaat gizi yang sangat baik. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang manfaat kesehatan, para frater perlahan-lahan menerima tahu dan tempe sebagai salah satu bagian dari menu harian di seminari, mengubah pola makan mereka secara signifikan.

Masalah Penolakan dan Ketidakbiasaan

Hampir semua frater menolak tahu dan tempe karena ketidakbiasaan terhadap makanan tersebut. Menurut Leona M. James, dalam Cultural Nutrition and Acceptance of Food (2002), penolakan terhadap makanan baru sering terjadi karena ketidaksesuaian dengan selera dan budaya lokal. Hal ini wajar dalam konteks budaya, namun Suster Clarita memahami bahwa penolakan ini lebih karena ketidaktahuan akan manfaat gizi tahu dan tempe, bukan soal rasa. Sebagai ahli gizi, Suster Clarita tetap berusaha memperkenalkan kebiasaan makan sehat meskipun menghadapi resistensi. Sidney Mintz dalam Sweetness and Power (1985) menjelaskan fenomena food rejection sebagai penolakan masyarakat terhadap makanan baru yang dianggap asing. Penolakan berulang dari para frater, bahkan sampai mengembalikan tahu dan tempe tanpa disentuh, membuat Suster Clarita merasa kecewa.

Meskipun merasa kecewa, Suster Clarita melaporkan situasi ini kepada Pastor Pimpinan, RD Philipus Riwu, yang merespons dengan bijaksana. Pastor memahami bahwa masalah ini lebih terkait dengan ketidakbiasaan daripada pembangkangan. Ia memilih pendekatan edukasi gizi yang logis, dengan memberikan penjelasan ilmiah kepada para frater untuk membuka wawasan mereka. Pastor Riwu menyadari bahwa para frater, sebagai mahasiswa filsafat dan teologi, dapat memahami manfaat gizi makanan melalui pendekatan rasional. Rupanya perlu diberikan "kuliah gratis" tentang gizi, yang bertujuan untuk membantu para frater menerima tahu dan tempe dengan pemahaman yang lebih mendalam tentang manfaatnya bagi kesehatan.

Ahli gizi Marion Nestle dalam What to Eat (2006) menekankan pentingnya edukasi untuk mengubah kebiasaan makan. Pastor Riwu menerapkan prinsip ini dengan mengajarkan para frater bahwa makanan sehat tidak selalu enak, tetapi penting untuk dikonsumsi demi kesehatan jangka panjang. Pendekatan ini menunjukkan bahwa edukasi yang baik dan penuh pengertian dapat mengatasi resistensi terhadap perubahan.

Pentingnya Edukasi Gizi

Suster Clarita menyadari bahwa penolakan para frater terhadap tahu dan tempe bukan semata-mata karena rasa, melainkan kurangnya pemahaman akan nilai gizinya. Bersama Pastor Pimpinan, ia mengorganisir kuliah gizi berkala untuk menjelaskan manfaat kesehatan dari tahu dan tempe.  Edukasi ini bertujuan tidak hanya memperkenalkan makanan baru, tetapi juga meningkatkan kesadaran para frater tentang pentingnya gizi bagi kesehatan tubuh dan pikiran. Edukasi gizi berperan penting dalam mengubah perilaku makan. Marion Nestle dalam Food Politics: How the Food Industry Influences Nutrition and Health (2002), menekankan bahwa pengetahuan tentang gizi merupakan kunci perubahan pola makan. Dengan pemahaman ini, para frater diharapkan lebih terbuka terhadap makanan yang awalnya mereka anggap asing. Kuliah ini menjadi langkah strategis untuk memperbaiki pola makan mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun