Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Hobi membaca dan menulis. Selain buku nonfiksi, menghasilkan tulisan narasi, cerpen, esai, artikel, yang termuat dalam berbagai media. Minat akan filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Moto: “Bukan banyaknya melainkan mutunya” yang mendorong berpikir kritis, kreatif, mengedepankan solusi dan pencerahan dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Krisis Bernalar Mahasiswa: Mencari Akar Permasalahan dan Solusinya

24 Oktober 2024   06:51 Diperbarui: 24 Oktober 2024   14:25 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Selama dua dekade terakhir, saya sebagai pengajar di perguruan tinggi menyaksikan penurunan signifikan dalam kemampuan bernalar mahasiswa. Jika dibandingkan dengan mahasiswa dulu, yang mampu mengkritisi teori, mengembangkan argumen kuat, dan berpikir analitis, kini lebih mengandalkan hafalan tanpa mendalami konsep, menerima informasi tanpa pertanyaan, serta kesulitan menyusun argumen atau memecahkan masalah kompleks. Kemampuan bernalar, yang seharusnya menjadi inti pendidikan tinggi, sangat penting untuk membekali generasi dengan keterampilan berpikir kritis dan mandiri, yang dibutuhkan di dunia kerja dan masyarakat. Penurunan ini memunculkan pertanyaan: mengapa hal ini terjadi dan apa dampaknya pada kualitas pembelajaran? Tulisan ini berusaha mengidentifikasi akar permasalahan tersebut dan menawarkan solusi untuk meningkatkan kembali kemampuan bernalar mahasiswa, dengan harapan bisa mendorong refleksi kritis bagi pengajar, institusi, dan mahasiswa.

Tinjauan Terhadap Kondisi Mahasiswa Saat Ini

Selama ini, saya melihat penurunan signifikan dalam pola pikir dan kemampuan bernalar mahasiswa. Di awal karier, mahasiswa lebih kritis, mampu menyusun argumen koheren, serta menghubungkan konsep kompleks dengan situasi nyata. Namun, saat ini, mereka cenderung pasif, menerima informasi tanpa banyak pertanyaan, dan kesulitan mengembangkan pemikiran kritis. Temuan Arum dan Roksa dalam Academically Adrift (2011) mendukung observasi ini. Mereka menyatakan bahwa mayoritas mahasiswa hanya mengalami sedikit peningkatan kemampuan berpikir kritis selama studi, dengan penyebabnya antara lain kurangnya tantangan intelektual dan ketergantungan pada metode hafalan.

Mahasiswa masa kini sering hanya mencari jawaban singkat tanpa melalui proses berpikir mendalam. Paul & Elder dalam Critical Thinking: Tools for Taking Charge of Your Professional and Personal Life (2014) menjelaskan bahwa berpikir kritis memerlukan latihan intensif, namun hal ini tampaknya kurang berkembang pada mahasiswa saat ini. Salah satu masalah utama adalah ketergantungan pada hafalan dibandingkan pemahaman yang mendalam. Akibatnya, mahasiswa kesulitan menghubungkan konsep teoretis dengan situasi praktis serta menyusun argumen logis, terutama dalam menghadapi pertanyaan terbuka.

Bloom dalam Taxonomy of Educational Objectives (1956) juga mencatat rendahnya kemampuan analisis dan evaluasi. Hal ini diperburuk oleh pola berpikir linier yang dipengaruhi oleh teknologi, sebagaimana diungkapkan oleh Garrison dalam E-Learning in the 21st Century (2011). Mahasiswa sering kesulitan mengaplikasikan teori ke dunia nyata, baik dalam diskusi kelas maupun tugas, seperti yang digarisbawahi oleh Facione dalam Critical Thinking: What It Is and Why It Counts (2015), yang menekankan pentingnya berpikir kritis berbasis bukti dan logika, sesuatu yang kini mulai terabaikan.

Akar Permasalahan

Salah satu akar lemahnya kemampuan bernalar mahasiswa terletak pada sistem pendidikan sebelumnya yang lebih menekankan hafalan daripada pengembangan kemampuan berpikir kritis. Pendidikan dasar hingga menengah cenderung mengajar siswa menghafal fakta daripada memahami konsep, sehingga mereka tidak terbiasa dengan pemikiran kompleks saat memasuki perguruan tinggi. Pandangan ini sejalan dengan kritik Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1970).

Schiro dalam Curriculum Theory: Conflicting Visions and Enduring Concerns (2013) menegaskan bahwa pendidikan tradisional lebih berfokus pada pengetahuan yang dapat diukur, bukan kemampuan berpikir kritis yang lebih sulit diukur namun relevan untuk kehidupan. Mahasiswa yang masuk perguruan tinggi sering belum terlatih dalam bernalar karena pendidikan sebelumnya tidak mendorong pengembangan logika dan nalar.

Teknologi, terutama media sosial dan platform digital, juga membentuk pola pikir instan di kalangan generasi muda. Akses cepat ke informasi sering menggantikan kebutuhan untuk mendalami materi, seperti yang dijelaskan Carr dalam The Shallows: What the Internet Is Doing to Our Brains (2010), bahwa internet mendorong "pola pikir permukaan" yang memperlemah pemikiran kritis dan mendalam. Platform media sosial berbasis visual seperti Instagram dan TikTok memperkuat konsumsi konten yang cepat dan jarang membutuhkan pemikiran kritis. Garrison (2011) menyatakan bahwa meskipun teknologi meningkatkan aksesibilitas informasi, jika tidak digunakan dengan bijak, dapat melemahkan kemampuan berpikir mendalam.

Di perguruan tinggi, kurikulum yang kurang menekankan pengembangan kemampuan bernalar juga menjadi masalah. Banyak mata kuliah berorientasi pada hasil ujian dan tugas tertulis yang lebih fokus pada reproduksi pengetahuan daripada pemikiran kritis, sehingga mengurangi kesempatan mahasiswa untuk terlibat dalam diskusi intelektual yang mendalam. Brookfield dalam Teaching for Critical Thinking: Tools and Techniques to Help Students Question Their Assumptions (2012), menekankan pentingnya mendorong mahasiswa untuk mempertanyakan asumsi dan memperluas kemampuan berpikir logis. Namun, ketika metode pengajaran lebih berfokus pada penilaian berbasis hasil akhir, kesempatan untuk mengasah keterampilan bernalar menjadi terbatas.

Rendahnya budaya membaca literatur yang menantang di kalangan mahasiswa juga memperlemah kemampuan berpikir kritis. Banyak mahasiswa lebih memilih sumber yang ringkas atau visual daripada bacaan kritis yang menuntut pemikiran mendalam, sehingga mereka kehilangan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan bernalar. Gallagher dalam Readicide: How Schools Are Killing Reading and What You Can Do About It (2020), menyatakan bahwa pola membaca yang dangkal merusak kemampuan berpikir kritis. Ketika mahasiswa terbiasa mengonsumsi informasi secara cepat, mereka kehilangan kesempatan untuk menggali makna dan menghubungkan konsep-konsep yang lebih kompleks, yang penting dalam mengembangkan keterampilan bernalar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun