Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Hobi membaca dan menulis. Selain buku nonfiksi, menghasilkan tulisan narasi, cerpen, esai, artikel, yang termuat dalam berbagai media. Minat akan filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Moto: “Bukan banyaknya melainkan mutunya” yang mendorong berpikir kritis, kreatif, mengedepankan solusi dan pencerahan dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Krisis Bernalar Mahasiswa: Mencari Akar Permasalahan dan Solusinya

24 Oktober 2024   06:51 Diperbarui: 24 Oktober 2024   14:25 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Dampak Rendahnya Kemampuan Bernalar

Rendahnya kemampuan bernalar mahasiswa memengaruhi kualitas diskusi dan pembelajaran di kelas. Partisipasi aktif dalam diskusi yang seharusnya menjadi sarana pengembangan pemikiran kritis sering minim, karena mahasiswa kesulitan mengkritisi gagasan. Freire (1970) menekankan pentingnya dialog dalam pendidikan, namun mahasiswa yang tidak mampu berpikir kritis cenderung pasif dan menerima informasi tanpa menganalisisnya.

Kurangnya kemampuan bernalar juga menghambat pengembangan pemikiran mandiri. Paul & Elder dalam Critical Thinking: Tools for Taking Charge of Your Learning and Your Life (2006) menekankan bahwa berpikir kritis penting untuk menciptakan pemikiran mandiri, yang melibatkan kemampuan menganalisis informasi dan membuat keputusan berdasarkan pemahaman mendalam. Ketika mahasiswa tidak dilatih bernalar, mereka lebih bergantung pada otoritas tanpa menguji validitas informasi yang diterima.

Dampak dari lemahnya kemampuan bernalar terlihat dalam kinerja akademik. Tugas dan ujian menunjukkan pola pikir dangkal, dengan mahasiswa memberikan jawaban berbasis hafalan tanpa analisis kritis. Brookfield (2012) menyatakan, berpikir kritis penting untuk menghasilkan karya akademik berkualitas, namun mahasiswa sering menulis esai dan laporan dengan pemahaman yang dangkal.

Penurunan kualitas akademik juga terlihat dalam tugas-tugas seperti esai dan penelitian, di mana mahasiswa lebih memilih pendekatan deskriptif ketimbang mengeksplorasi perspektif berbeda. Mereka sering kesulitan menghubungkan teori dengan data empiris atau menarik kesimpulan yang matang. Fisher dalam Critical Thinking: An Introduction (2011) menekankan bahwa kunci berpikir kritis adalah kemampuan mengevaluasi informasi secara logis, esensial dalam penulisan akademik.

Kemampuan bernalar yang rendah juga berdampak pada kesiapan mahasiswa memasuki dunia kerja. Dunia kerja modern menuntut kemampuan berpikir kritis dan kreatif dalam menyelesaikan masalah, namun mahasiswa yang terbiasa dengan hafalan menghadapi kesulitan dalam situasi kompleks yang membutuhkan pemikiran logis. Laporan World Economic Forum dalam The Future of Jobs (2016) menyebutkan bahwa kemampuan berpikir kritis dan penyelesaian masalah kompleks adalah keterampilan penting di dunia kerja abad ke-21. Mahasiswa yang tidak memiliki keterampilan ini akan kesulitan beradaptasi dengan tuntutan profesional, terutama dalam merumuskan solusi kreatif dan berkolaborasi efektif. Harvey & Green dalam Defining Quality (1993) menekankan bahwa kualitas lulusan tidak hanya diukur dari nilai akademik, tetapi juga dari kemampuan berpikir kritis, mandiri, dan inovatif dalam konteks profesional. Mahasiswa yang kurang bernalar akan kesulitan beradaptasi dengan dinamika pekerjaan yang menuntut pemikiran strategis dan adaptasi cepat.

Solusi Meningkatkan Kemampuan Bernalar

Untuk meningkatkan kemampuan bernalar mahasiswa, perubahan pendekatan pengajaran di perguruan tinggi sangat penting. Metode pembelajaran berbasis proyek dan studi kasus efektif dalam melatih mahasiswa memecahkan masalah nyata dan menganalisis situasi kompleks. Brookfield (2012) menekankan pentingnya pengambilan keputusan berdasarkan data dan refleksi mendalam, sedangkan studi kasus memungkinkan mahasiswa melihat masalah dari berbagai sudut pandang.

Diskusi mendalam dan interaktif juga penting dalam mengasah kemampuan berpikir kritis mahasiswa. Dalam diskusi, mahasiswa saling bertukar gagasan, mempertanyakan asumsi, dan menguji argumen. Hal ini sejalan dengan teori Vygotsky dalam Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes (1978), yang menekankan pentingnya interaksi sosial dalam perkembangan kognitif. Tugas-tugas yang menuntut refleksi dan argumen logis membantu mahasiswa berpikir secara terstruktur. Menurut Paul & Elder (2006), tugas-tugas semacam ini menghindarkan mahasiswa dari hafalan dan mendorong proses berpikir komprehensif sebelum mencapai kesimpulan.

Penggunaan teknologi digital harus dilakukan secara bijak untuk mendorong pemahaman mendalam. Carr (2010) mengingatkan bahaya ketergantungan pada pencarian cepat, sehingga mahasiswa perlu diajarkan untuk menggunakan teknologi secara kritis, seperti melalui jurnal akademik daring dan platform diskusi intelektual.

Selain itu, platform pembelajaran seperti Coursera dan edX menawarkan kursus yang menuntut mahasiswa berpikir kritis melalui tugas analitis, diskusi global, dan proyek kolaboratif. Ini memberikan ruang untuk mengembangkan kemampuan bernalar dengan cara yang lebih interaktif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun