Sebelum dilantik sebagai presiden, Prabowo Subianto telah menggembar-gemborkan program ambisius bertajuk "Akselerasi Menuju Ekonomi Indonesia yang Hijau, Inklusif, dan Unggul," yang mencakup kebijakan kesehatan gratis, subsidi listrik, subsidi BBM, sekolah gratis, makan siang gratis, subsidi angkutan 100%, dan perguruan tinggi negeri gratis. Istilah "gratis" ini menarik perhatian publik, menumbuhkan harapan besar di tengah masyarakat yang menghadapi beban ekonomi. Namun, "gratis" sering disalahartikan sebagai sesuatu yang tidak memerlukan biaya, padahal semua program tersebut membutuhkan anggaran besar yang pada akhirnya dibayar melalui pajak, utang, atau pengalihan anggaran negara. Artikel ini berusaha mengkritisi apakah janji-janji tersebut realistis untuk diterapkan, atau hanya sekadar retorika politik yang memikat, dengan mempertimbangkan dampak jangka panjang pada perekonomian Indonesia.
Pengertian Gratis dalam Konteks Kebijakan Publik
Dalam kebijakan publik, istilah "gratis" sering dipahami sebagai layanan tanpa biaya langsung bagi penerimanya, meskipun dalam kenyataannya semua layanan tersebut tetap membutuhkan pembiayaan. Menurut Paul R. Krugman dalam The Conscience of a Liberal (2007), banyak orang salah mengira bahwa pemerintah bisa menyediakan layanan tanpa biaya, padahal semuanya dibiayai oleh pajak. Masyarakat cenderung memahami "gratis" sebagai layanan yang tidak memerlukan pembayaran langsung. Pengertian ini sering dipengaruhi oleh cara politisi yang memasarkan kebijakan mereka, seperti dijelaskan oleh Philip Kotler dalam Marketing in the Public Sector (2006).
Namun, tidak ada yang benar-benar gratis dalam konteks ekonomi. Biaya program yang disebut gratis tetap ada, dibebankan melalui pajak, utang, atau pengalihan anggaran. Joseph Stiglitz dalam Economics of the Public Sector (2000) menjelaskan bahwa kebijakan "gratis" sebenarnya menyembunyikan beban yang ditanggung masyarakat melalui pajak. Ketika layanan seperti pendidikan dan kesehatan dijanjikan gratis, biaya tetap berasal dari anggaran negara yang bersumber dari pajak.
Istilah "gratis" sering menjadi paradoks. Di satu sisi, layanan tampaknya tanpa biaya, tetapi di sisi lain, pembiayaannya tetap ada dan dialokasikan dari anggaran publik. Milton Friedman dalam Capitalism and Freedom (1962) menegaskan bahwa "tidak ada yang benar-benar gratis," karena biaya selalu ada, meskipun tidak langsung terlihat. Dalam praktiknya, istilah "gratis" mencerminkan redistribusi anggaran yang diperoleh dari pajak, subsidi silang, atau pinjaman pemerintah.
Program gratis sering menambah beban anggaran negara, terutama jika harus dibiayai dengan utang. Beban jangka panjang ini dapat merugikan ekonomi negara jika tidak dikelola dengan bijak. Seperti yang dikatakan Stiglitz dalam The Price of Inequality (2012), janji politik tentang layanan gratis sering merupakan ilusi yang tidak memperhitungkan beban ekonomi jangka panjang.
Tinjauan Terhadap Program Gratis yang Dijanjikan
Layanan kesehatan gratis, meski sangat dibutuhkan oleh kelompok rentan, memerlukan biaya besar yang sebagian besar bersumber dari pajak. Menurut Joseph E. Stiglitz (2000), sektor kesehatan yang universal dan gratis memiliki biaya tinggi, terutama di negara dengan populasi besar seperti Indonesia. Infrastruktur medis dan tenaga kesehatan yang kurang memadai juga menjadi tantangan serius, terutama di daerah terpencil, yang dapat menurunkan kualitas layanan jika tidak diimbangi dengan perbaikan sistem.
Pendidikan gratis, meskipun membuka akses bagi semua, juga menghadapi kendala besar dalam hal infrastruktur dan kualitas tenaga pengajar, terutama di daerah terpencil. Pendidikan yang hanya gratis tanpa meningkatkan kualitas hanya akan menghasilkan lulusan yang kurang kompetitif di pasar global, seperti dicatat oleh Philip G. Altbach dalam Global Perspectives on Higher Education (2006). Tantangan terbesar adalah memastikan pendidikan gratis berkualitas dan merata secara geografis.
Subsidi komoditas seperti listrik, BBM, dan transportasi umum membantu meringankan beban masyarakat, tetapi bisa menjadi beban berat bagi anggaran negara dalam jangka panjang. Milton Friedman (1962) menyoroti risiko ketergantungan fiskal yang tidak sehat akibat subsidi besar-besaran. Di Indonesia, subsidi energi fosil juga menghambat transisi ke ekonomi yang lebih ramah lingkungan, dan sering tidak tepat sasaran.
Subsidi BBM dan listrik telah lama menjadi pengeluaran besar dalam APBN Indonesia, namun keberlanjutannya perlu dipertimbangkan, terutama dalam konteks transisi ke energi hijau. Subsidi yang tidak tepat sasaran lebih banyak dinikmati oleh kelompok masyarakat yang mampu, bukan mereka yang paling membutuhkan. Karena itu, program subsidi harus dievaluasi untuk memastikan efisiensinya.