Literasi telah lama diakui sebagai fondasi penting dalam pendidikan, mencakup kemampuan membaca, menulis, memahami informasi, mengolahnya secara kritis, dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun literasi diharapkan menjadi pilar yang mendukung semua mata pelajaran di sekolah, kenyataannya pencapaian keterampilan membaca dan menulis masih belum optimal. Berdasarkan pengalaman mengajarkan Bahasa Indonesia di perguruan tinggi, banyak mahasiswa kesulitan memahami bacaan dan mengekspresikan pemahaman secara tertulis, yang disebabkan oleh kurangnya perhatian pada pembiasaan membaca dengan pemahaman dan latihan menulis kritis di sekolah. Tulisan ini berusaha mengidentifikasi penyebab rendahnya literasi dan menawarkan solusi holistik melalui pendekatan membaca, menulis, dan mempraktikkan untuk membangun generasi pembelajar yang lebih baik.
Literasi Sekolah: Antara Teori dan Praktik
Literasi dalam pendidikan tidak hanya mencakup kemampuan dasar membaca dan menulis, tetapi juga kemampuan memahami, mengkritisi, dan menerapkan informasi dari bacaan. UNESCO (2006) mendefinisikan literasi sebagai kemampuan untuk berkomunikasi dan mengolah informasi tertulis dalam berbagai konteks. Anderson dan Pearson, dalam A Schema-Theoretic View of Basic Processes in Reading Comprehension (1984), menekankan bahwa pemahaman bacaan adalah proses kompleks yang melibatkan penghubungan informasi baru dengan pengetahuan yang telah dimiliki pembaca.
Literasi yang komprehensif mencakup kemampuan membaca dengan pemahaman, menulis untuk mengekspresikan pemahaman, dan menerapkan apa yang dipelajari dalam kehidupan nyata. Paulo Freire, dalam Pedagogy of the Oppressed (1970), menekankan bahwa literasi harus mendorong pembebasan dan tindakan kritis, menghubungkan teori dengan praktik dalam kehidupan sehari-hari. Di Indonesia, program seperti Gerakan Literasi Sekolah (GLS) telah diinisiasi oleh Kemdikbud untuk meningkatkan keterampilan membaca dan menulis siswa.
Akan tetapi, evaluasi menunjukkan hasil yang belum optimal. PISA (2018) melaporkan bahwa keterampilan membaca siswa Indonesia masih di bawah rata-rata internasional. Masalah utama adalah minimnya latihan pemahaman bacaan yang mengajarkan siswa berpikir kritis. Menurut Kamil, dalam Adolescent Literacy: Research and Practice (2003), siswa jarang dilatih untuk menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan yang dimiliki atau mengkritisi teks secara mendalam.
Minimnya latihan ini berdampak pada kesiapan mahasiswa di perguruan tinggi, yang sering kali kesulitan memahami teks akademik kompleks dan mengekspresikan pemahaman secara kritis melalui tulisan. Snow, dalam Reading for Understanding: Toward a Research and Development Program in Reading Comprehension (2002), menyatakan bahwa pembelajaran literasi yang hanya menekankan aspek teknis menciptakan pembaca pasif, bukan pembaca kritis.
Meskipun literasi telah menjadi fokus dalam kurikulum, pelaksanaannya masih perlu evaluasi. Pendekatan literasi yang lebih integratif, yang menggabungkan kemampuan membaca, menulis, dan mempraktikkan, sangat diperlukan untuk membangun keterampilan literasi yang lebih bermakna bagi siswa hingga ke perguruan tinggi.
Tantangan Literasi: Membaca Tanpa Memahami
Salah satu tantangan utama dalam pendidikan adalah rendahnya kemampuan membaca yang mendalam. Banyak siswa hanya membaca secara mekanis tanpa memahami konteks atau makna teks. Menurut Snow (2002), membaca adalah proses kompleks yang melibatkan interaksi pembaca dengan teks, di mana pembaca harus menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan yang sudah ada.
Namun, banyak siswa hanya membaca untuk menyelesaikan tugas, tanpa menerapkan strategi pemahaman seperti merangkum atau mengidentifikasi gagasan utama. Akibatnya, mereka cenderung menghafal informasi tanpa memahami konteks atau tujuan teks yang mereka baca, sebagaimana dinyatakan oleh Duke dan Pearson dalam Effective Practices for Developing Reading Comprehension (2002).
Membaca secara mekanis membuat siswa kehilangan kesempatan berpikir kritis, sehingga tidak mampu menganalisis atau menafsirkan teks. Pemahaman konteks, nuansa bahasa, serta interpretasi maksud penulis sering terabaikan, yang berdampak pada pemahaman bacaan yang terbatas.