Kenangan di Merauke
Josefa duduk di teras rumahnya di Kampung Tabonji, membiarkan ingatannya kembali ke masa-masa indah di Merauke. SMA Yoanes XXIII adalah titik balik dalam kehidupannya, tempat dia tidak hanya menemukan teman-teman sejati, tetapi juga menemukan panggilan untuk melindungi alam dan warisan budayanya.
Didimus, yang sedang lewat di depan rumahnya, melambaikan tangan sambil tersenyum lebar. "Hai Josefa! Sedang apa kamu?"
Josefa tersenyum balik, "Hai Didimus! Aku sedang merenungkan kenangan di Merauke. Ingat diskusi kita tentang keanekaragaman hayati dulu?"
Didimus mengangguk antusias, duduk di samping Josefa. "Tentu saja! Kita memang sering sekali bahas itu, ya? Kenangan di Merauke memang tak akan terlupakan."
"Betul sekali," sahut Josefa sambil mengangguk. "Setiap kali kita menjelajahi hutan dan sungai di sekitar sana, aku merasa semakin yakin bahwa aku harus belajar lebih banyak lagi tentang alam Papua."
Didimus menggoda, "Eh, tapi kamu juga tak bisa lepas dari cerita tentang tanaman Dambu, kan?"
Josefa tertawa, "Iya nih! Aku tak bisa berhenti terpesona dengan keajaiban pertanian tradisional di kampung."
Didimus mengangguk mengerti, "Itu bagus, Josefa. Kamu punya tekad yang kuat untuk belajar dan membawa perubahan positif bagi kampung kita."
Kenangan di Merauke menjadi fondasi penting dalam perjalanan Josefa untuk mengejar impian dan memenuhi panggilan hatinya. Meskipun perpisahan dengan teman-teman dan kenangan indah di Merauke terasa menyakitkan, Josefa tahu bahwa mereka telah memberinya bekal berharga untuk melangkah maju dalam pencariannya. Ia siap untuk menapaki perjalanan panjang yang menunggunya, membawa semangat dan pengetahuan yang ia peroleh dari masa muda di Papua Selatan.