Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan

Pencinta membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hukum Gender: Menyatukan Energi Maskulin dan Feminin untuk Harmoni Alam Semesta

3 Oktober 2024   06:05 Diperbarui: 3 Oktober 2024   06:08 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hukum Gender dalam ajaran spiritual dan filosofis mengajarkan keseimbangan energi maskulin dan feminin sebagai prinsip fundamental alam semesta. Meski sering dikaitkan dengan identitas manusia, dalam konteks ini gender merujuk pada dualitas energi yang ada di semua aspek kehidupan---fisik, emosional, dan spiritual. Energi maskulin mewakili aksi dan logika, sementara energi feminin melambangkan kreativitas dan intuisi. Keseimbangan antara kedua energi ini menciptakan harmoni dalam diri dan alam. Ketidakseimbangan dapat berdampak pada kehidupan pribadi, hubungan, dan kesejahteraan. Karena itu, menjaga keseimbangan energi penting untuk kedamaian batin, pertumbuhan pribadi, dan harmoni universal.

Hakikat Energi Maskulin dan Feminin

Dalam Hukum Gender, energi maskulin dan feminin tidak merujuk pada gender biologis atau sosial, melainkan pada dua kekuatan kosmik yang mempengaruhi penciptaan dan transformasi alam semesta. Keseimbangan antara kedua energi ini dianggap esensial dalam spiritualitas dan filsafat kuno, serta diakui oleh berbagai tradisi, termasuk Gereja Katolik, sebagai fondasi kehidupan harmonis.

Energi maskulin mewakili aspek aktif dan penciptaan, mencerminkan logika, kekuatan, dan kejelasan. Ken Wilber, dalam The Marriage of Sense and Soul (1998), menggambarkan energi maskulin sebagai kekuatan yang memecahkan hambatan dan mendorong tindakan. Dalam ajaran Gereja Katolik, energi maskulin terkait dengan tanggung jawab penciptaan, sebagaimana dinyatakan dalam Gaudium et Spes (1965), yang menegaskan manusia dipanggil untuk bekerja dengan Tuhan dalam menyempurnakan ciptaan-Nya melalui akal dan kehendak.

Sementara itu, energi feminin melambangkan sifat intuitif dan kreatif yang menerima dan memelihara kehidupan. Clarissa Pinkola Ests, dalam Women Who Run With the Wolves (1992), menyatakan bahwa energi feminin membuka jalan bagi kreativitas dan kebijaksanaan melalui cinta dan intuisi. Gereja Katolik juga mengakui elemen feminin melalui figur Maria, yang dalam ensiklik Redemptoris Mater (1987), digambarkan sebagai simbol penerimaan dan pengabdian tanpa syarat pada kehendak Tuhan.

Manifestasi energi maskulin dan feminin dapat dilihat di alam dan kehidupan manusia. Energi maskulin tampak dalam matahari yang memberi kehidupan, sementara energi feminin terlihat dalam bumi yang menumbuhkan dan memelihara. Erich Neumann, dalam The Origins and History of Consciousness (1954), menyatakan bahwa matahari dan bumi melambangkan interaksi kekuatan maskulin dan feminin dalam penciptaan. Dalam kehidupan manusia, kedua energi ini diperlukan, misalnya dalam proyek kreatif, di mana energi maskulin merancang tindakan dan energi feminin merawat perkembangan. Paus Fransiskus, dalam Laudato Si' (2015), menekankan pentingnya keseimbangan kedua energi untuk menjaga hubungan harmonis dengan alam.

Keseimbangan dalam Diri: Harmoni Pribadi

Keseimbangan energi maskulin dan feminin bukan sekadar soal gender biologis, melainkan dua kekuatan kosmik dalam diri setiap individu. Harmoni pribadi tercapai melalui integrasi kedua energi ini, yang mendukung kehidupan yang lebih utuh, seimbang, dan bahagia. Dalam ajaran Gereja Katolik dan spiritualitas modern, keseimbangan ini menjadi dasar penting bagi kesehatan fisik, mental, dan emosional.

Setiap individu, pria maupun wanita, memiliki energi maskulin dan feminin yang harus selaras. Carl Jung, melalui konsep 'anima' dan 'animus', menjelaskan bahwa setiap orang mengandung kedua energi ini dalam psikologi mereka. Dalam The Archetypes and The Collective Unconscious (1959), Jung menyatakan bahwa keseimbangan anima dan animus adalah kunci individuasi, yaitu proses mencapai keutuhan diri.

Gereja Katolik mengajarkan bahwa manusia diciptakan menurut gambar Allah (Kej 1:27), yang mencakup aspek maskulin dan feminin. Paus Yohanes Paulus II, dalam Mulieris Dignitatem (1988), menekankan bahwa pria dan wanita dipanggil untuk mencerminkan citra Allah, terlepas dari perbedaan biologis, dengan memadukan kekuatan maskulin dan kasih feminin.

Ketidakseimbangan energi ini dapat menyebabkan masalah fisik, mental, dan emosional. David Deida, dalam The Way of the Superior Man (1997), menyatakan bahwa kelebihan energi maskulin dapat membuat seseorang terlalu logis dan kehilangan sensitivitas emosional, sementara kelebihan energi feminin bisa membuat seseorang pasif dan menghindari tantangan. Gabor Mat, dalam When the Body Says No (2003), menegaskan bahwa ketidakseimbangan ini, khususnya penekanan emosi, dapat menyebabkan stres dan berbagai penyakit fisik seperti hipertensi dan gangguan pencernaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun