Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Hobi membaca dan menulis. Selain buku nonfiksi, menghasilkan tulisan narasi, cerpen, esai, artikel, yang termuat dalam berbagai media. Minat akan filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Moto: “Bukan banyaknya melainkan mutunya” yang mendorong berpikir kritis, kreatif, mengedepankan solusi dan pencerahan dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tersenyum di Tengah Kesedihan, Menemukan Cahaya dalam Kegelapan

31 Agustus 2024   06:05 Diperbarui: 31 Agustus 2024   06:10 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pertama, norma sosial sering mengharapkan orang untuk menunjukkan emosi yang lebih positif di hadapan orang lain. Sosiolog Erving Goffman (1959), dalam The Presentation of Self in Everyday Life, mengemukakan konsep 'manajemen kesan' ketika individu berusaha mengontrol bagaimana ia dilihat oleh orang lain. Senyuman, dalam hal ini, dapat digunakan sebagai alat untuk menjaga citra diri dan memenuhi ekspektasi sosial, meskipun di baliknya tersimpan perasaan yang bertolak belakang.

Kedua, senyuman bisa menjadi wujud harapan diri. Dalam situasi yang penuh tekanan atau kesedihan, senyuman bisa menjadi cara meyakinkan diri sendiri bahwa segala sesuatu akan baik-baik saja. Senyuman ini dilihat sebagai bentuk optimisme dan keberanian untuk tidak menyerah pada kesedihan. Menurut Viktor Frankl (1946), kekuatan utama manusia adalah kemampuannya memilih sikapnya sendiri dalam setiap situasi. Senyuman bisa menjadi manifestasi dari sikap ini---sebuah pilihan untuk tetap optimis meskipun keadaan sulit.

Ketiga, kebutuhan untuk tetap kuat. Dalam banyak budaya, kelemahan dianggap sebagai sesuatu yang kurang pantas, terutama bagi orang-orang yang berada dalam posisi tanggung jawab atau yang ingin melindungi orang lain dari kekhawatiran. Dalam ajaran Gereja Katolik, kekuatan dan ketabahan sering dikaitkan dengan kebajikan. Umat diingatkan untuk menanggung penderitaan dengan sabar dan tetap percaya pada rencana Tuhan (Yak 1:12).

Menemukan Kekuatan dalam Senyuman

Senyuman sebagai bentuk keberanian: Senyuman, meskipun tampaknya sederhana, dapat menjadi simbol keberanian yang luar biasa, terutama ketika dihadapkan dengan kesulitan atau penderitaan. Dalam psikologi, senyuman dalam situasi yang penuh tekanan dianggap sebagai ekspresi kekuatan batin dan ketahanan. Menurut Christopher Peterson & Martin Seligman (2004), dalam Character Strengths and Virtues: A Handbook and Classification, senyuman dapat menjadi manifestasi dari dua kebajikan penting: keberanian dan ketahanan. Keberanian tidak hanya tampak dalam tindakan fisik, tetapi juga dalam ekspresi diri yang tegar saat menghadapi kesulitan, ketika senyuman bisa menjadi simbol keberanian untuk tetap teguh.

Senyuman dalam situasi sulit juga dapat dilihat sebagai bentuk pengendalian diri dan kemampuan menghadapi tekanan tanpa membiarkan diri terperangkap dalam keputusasaan. Senyuman yang muncul dari ketabahan adalah ekspresi keberanian untuk terus maju, meskipun hati sedang bergumul dengan rasa sakit. Dalam ajaran Gereja Katolik, keberanian adalah salah satu dari empat kebajikan kardinal, selain kebijaksanaan, keadilan, dan pengendalian diri. Katekismus Gereja Katolik (KGK 1808) menyatakan bahwa kebajikan keberanian memungkinkan kita mengatasi ketakutan dan tetap teguh dalam menghadapi penderitaan atau pencobaan. Senyuman yang diberikan di tengah kesulitan dapat menjadi tindakan keberanian yang didorong oleh iman, dengan keyakinan bahwa Tuhan tidak akan meninggalkan mereka yang berjuang.

Cara memupuk kekuatan batin untuk tetap tersenyum: Mempertahankan senyuman dalam masa-masa sulit membutuhkan kekuatan batin yang besar, yang dapat dikembangkan melalui berbagai cara. Berikut, beberapa tips dan saran untuk memupuk kekuatan batin.

Pertama, menjaga dan memperdalam relasi dengan Tuhan melalui doa dan meditasi. Doa bukan hanya sarana komunikasi dengan Tuhan, tetapi juga cara untuk mengisi kembali kekuatan spiritual.

Kedua, mengembangkan sikap syukur untuk menjaga perspektif positif dan meningkatkan kekuatan batin. Penelitian menunjukkan bahwa praktik syukur dapat meningkatkan kesehatan mental, mengurangi stres, dan memperkuat ketahanan emosi.

Ketiga, mencari dukungan sosial melalui keluarga, teman, dan komunitas untuk memelihara kekuatan batin. Katekismus Gereja Katolik (KGK 953) menegaskan bahwa melalui kasih yang tulus dan bantuan yang konkret, komunitas iman memberikan kekuatan kepada mereka yang membutuhkan.

Keempat, mengembangkan sikap optimis. Menurut Martin Seligman (1990), dalam Learned Optimism, dengan berfokus pada aspek positif dari situasi dan menantang pikiran-pikiran negatif, seseorang bisa mengembangkan pandangan hidup yang lebih optimis. Dengan demikian, lebih mudah menemukan alasan untuk tetap tersenyum, bahkan dalam situasi yang sulit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun