Menggunakan iri hati sebagai cermin: Iri hati, meskipun sering dianggap sebagai emosi negatif, dapat menjadi alat yang berguna untuk refleksi diri. Ketika seseorang merasa iri, hal ini bisa menjadi tanda bahwa ada sesuatu yang diinginkan atau dianggap penting dalam hidupnya. Menurut psikolog Carl Jung (1933), dalam Modern Man in Search of a Soul, emosi yang kita rasakan, termasuk yang negatif, dapat menjadi sumber informasi yang berharga tentang diri kita. Emosi adalah "pintu menuju dunia batin" kita yang dapat mengungkapkan aspek-aspek tersembunyi dari kepribadian kita. Jadi, daripada membiarkan iri hati meracuni pikiran dan perasaan, kita bisa menggunakannya sebagai cermin untuk memahami keinginan dan ambisi pribadi. Misalnya, jika seseorang merasa iri terhadap kesuksesan karier orang lain, itu mungkin menunjukkan bahwa ia juga mendambakan kesuksesan serupa dalam kariernya. Refleksi diri ini dapat membantu individu mengeksplorasi apa yang benar-benar diinginkan dalam hidup dan mengapa hal tersebut penting baginya.
Mengubah iri hati menjadi dorongan meningkatkan diri: Setelah mengenali keinginan dan ambisi pribadi melalui refleksi diri, langkah berikutnya adalah mengalihkan energi negatif dari iri hati menjadi dorongan untuk meningkatkan diri. Emosi negatif seperti iri hati memiliki potensi untuk mendorong tindakan yang konstruktif jika diarahkan dengan benar. Alih-alih membiarkan diri tenggelam dalam perasaan iri, seseorang bisa menggunakannya sebagai bahan bakar untuk menetapkan tujuan yang jelas dan realistis. Angela Duckworth (2016), dalam Grit: The Power of Passion and Perseverance, mengemukakan bahwa ketekunan dan semangat dalam mengejar tujuan adalah kunci utama mencapai kesuksesan. Ketika seseorang merasa iri terhadap pencapaian orang lain, ia dapat menggunakan perasaan itu untuk memperkuat tekadnya, meningkatkan keterampilan, dan bekerja lebih keras. Dengan menetapkan tujuan yang jelas dan mengembangkan rencana yang terstruktur, seseorang dapat mengubah iri hati menjadi motivasi yang kuat untuk pertumbuhan pribadi.
Melihat kesuksesan orang lain sebagai inspirasi: Langkah penting lainnya dalam mengubah iri hati menjadi motivasi adalah dengan mengembangkan sikap positif terhadap kesuksesan orang lain. Alih-alih melihatnya sebagai ancaman, kesuksesan orang lain bisa dilihat sebagai inspirasi dan contoh yang bisa diikuti. Ketika seseorang belajar untuk menghargai pencapaian orang lain, ia membuka diri untuk belajar dari pengalaman tersebut dan menemukan cara-cara baru untuk mencapai tujuan mereka sendiri. Sikap ini sejalan ensiklik Paus Benediktus XVI, Caritas in Veritate (2009), yang menekankan pentingnya cinta kasih dalam kehidupan sosial dan bagaimana solidaritas dengan sesama manusia dapat membawa kebaikan bersama.
Langkah-langkah Praktis
Membuat rencana pengembangan diri: Hal ini adalah langkah penting dalam mengubah iri hati menjadi dorongan untuk mencapai tujuan pribadi. Rencana ini harus realistis dan terukur, dengan langkah-langkah yang jelas dan tujuan yang dapat dicapai dalam jangka waktu tertentu. Menurut Stephen R. Covey (1989), dalam The 7 Habits of Highly Effective People, penting untuk memulai dengan akhir yang jelas dalam pikiran---yaitu, memahami apa yang ingin dicapai dan merancang langkah-langkah konkret untuk mencapainya.
Mengadopsi mindset yang berfokus pada pertumbuhan dan pembelajaran: Mindset pertumbuhan, sebuah konsep yang dipopulerkan oleh Carol S. Dweck (2006), dalam Mindset: The New Psychology of Success, merujuk pada keyakinan bahwa kemampuan dan kecerdasan dapat berkembang melalui kerja keras, pembelajaran, dan ketekunan. Mengadopsi mindset pertumbuhan berarti melihat tantangan sebagai kesempatan untuk belajar dan berkembang, bukan sebagai ancaman atau penghalang. Ketika seseorang mengadopsi mindset pertumbuhan, mereka lebih cenderung untuk melihat iri hati sebagai sinyal untuk belajar dari orang lain daripada sekadar merasakan kecemburuan. Ia akan lebih terbuka terhadap kritik konstruktif dan akan lebih bersemangat untuk mengembangkan diri mereka sendiri, termasuk kehidupan moral dan pertumbuhan spiritual.
Latihan syukur: Ini adalah cara efektif untuk mengurangi perasaan iri hati dan meningkatkan kesejahteraan mental. Syukur membantu seseorang fokus pada apa yang dimiliki daripada apa yang kurang. Menurut penelitian psikolog Robert A. Emmons (2007), dalam Thanks!: How the New Science of Gratitude Can Make You Happier, orang yang secara rutin mempraktikkan syukur cenderung memiliki kesehatan mental yang lebih baik, hubungan yang lebih kuat, dan tingkat stres yang lebih rendah. Melalui latihan syukur, seseorang dapat menghargai pencapaian dan berkat yang dimiliki, sehingga mengurangi kecenderungan untuk merasa iri terhadap orang lain. Paus Fransiskus (2015) mendorong umat untuk hidup dalam syukur dan menghargai semua ciptaan sebagai karunia dari Tuhan, yang pada gilirannya membawa kedamaian dan kebahagiaan batin yang sejati .
Paparan di atas memperlihatkan bahwa mengubah iri hati menjadi motivasi memerlukan kesadaran, usaha, dan niat baik. Meski sering dianggap merugikan, iri hati bisa menjadi alat kuat untuk memacu potensi terbaik jika dikelola dengan bijak. Dengan refleksi diri, kita dapat memahami keinginan dan ambisi pribadi yang tersembunyi. Mengalihkan energi negatif ini ke tindakan positif, seperti menetapkan tujuan jelas dan mengembangkan diri, membuka jalan menuju pencapaian lebih besar. Dengan mindset pertumbuhan dan berlatih syukur, kita dapat memandang kesuksesan orang lain sebagai inspirasi, bukan ancaman. Ajaran Gereja Katolik menekankan pentingnya pengembangan diri, solidaritas, dan rasa syukur untuk hidup yang lebih bermakna dan damai. Dengan langkah-langkah ini, iri hati dapat menjadi dorongan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik, bahagia, dan seimbang---bukan hambatan, melainkan motivasi menuju tujuan hidup dan berkat yang lebih besar. (*)
Merauke, 28 Agustus 2024
Agustinus Gereda
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H