"Tapi, mengapa sekarang? Saat kami paling membutuhkan bantuan?" Bu Lola menambahkan dengan suara gemetar.
Fatima mencoba menenangkan suasana, "Mama, kami akan tetap sering datang dan membantu. Kami tidak akan meninggalkan kalian begitu saja."
Namun, meski berusaha menjelaskan, tudingan tetap menghantam Fatima. Ia dicap sebagai perempuan yang tidak tahu diri. Konflik ini membuat hubungan mereka semakin renggang. Setiap kali Fatima berusaha menunjukkan niat baiknya, tanggapan yang diterima selalu dingin. Bu Lola mulai menahan diri untuk berbicara dengan Fatima, dan Pak Darius sering menghindari pandangan matanya.
Suatu hari, ketika Fatima membawa makanan ke rumah mertua, ia mencoba berbicara dengan Bu Lola di dapur.
"Mama, saya bawa masakan kesukaan Mama," kata Fatima dengan senyum lembut.
Bu Lola menoleh sejenak, lalu mengangguk singkat. "Terima kasih, Fatima," jawabnya singkat tanpa menatap mata Fatima.
Fatima menelan ludah, merasa canggung. "Mama, saya ingin kita bisa seperti dulu lagi. Saya dan Marinus tidak pernah berniat meninggalkan kalian."
Bu Lola menghela napas panjang, lalu berbalik menghadap Fatima. "Fatima, kadang tindakanmu tidak mencerminkan kata-katamu. Kami merasa ditinggalkan, dan itu menyakitkan."
Air mata menggenang di mata Fatima. "Maafkan saya, Mama. Kami hanya ingin belajar mandiri. Kami tidak bermaksud menyakiti kalian."
Pak Darius yang mendengar percakapan dari ruang tamu berjalan masuk. "Kalian mungkin tidak bermaksud, tapi itulah yang terjadi," katanya tegas.
Ketegangan ini membuat setiap kunjungan ke rumah mertua menjadi beban emosional bagi Fatima dan Marinus. Mereka merindukan kehangatan dan kebersamaan yang pernah ada, namun kini yang tersisa hanya rasa kecewa dan keraguan. Fatima sering merenung di malam hari, bertanya-tanya apakah keputusan mereka tepat.