Dalam beberapa dekade terakhir, meningkatnya kasus perceraian di kalangan pasangan Katolik menjadi fenomena yang meresahkan. Data statistik menunjukkan peningkatan yang signifikan, mencerminkan tantangan yang dihadapi oleh pasangan dalam menjaga keutuhan rumah tangga. Ada berbagai faktor yang berkontribusi terhadap tingginya angka perceraian ini. Godaan duniawi, seperti perselingkuhan dan ketergantungan pada teknologi, sering menjadi penghalang dalam menjaga kesetiaan. Kurangnya komunikasi yang efektif antara suami dan istri juga memperburuk situasi, menyebabkan kesalahpahaman yang tak teratasi. Selain itu, masalah keuangan yang membebani pasangan dapat memicu konflik yang berujung pada perceraian.
Di tengah cobaan ini, pentingnya menjaga kesetiaan dalam pernikahan Katolik tidak bisa diremehkan. Kesetiaan bukan hanya sebagai janji di depan altar, tetapi juga sebagai fondasi yang menopang segala cobaan dan ujian dalam kehidupan berumah tangga. Menjaga komitmen ini memerlukan upaya terus-menerus dari kedua belah pihak, dengan mengedepankan komunikasi, kepercayaan, dan dukungan satu sama lain. Artikel ini berusaha mengeksplorasi pentingnya komitmen dan kesetiaan dalam pernikahan Katolik, serta memberikan panduan praktis untuk menghadapi dan mengatasi berbagai tantangan yang mungkin muncul.
Makna Komitmen dalam Pernikahan Katolik
Dalam tradisi Katolik, pernikahan adalah sakramen yang suci dan tak terpisahkan. Katekismus Gereja Katolik (KGK) menyatakan bahwa pernikahan adalah perjanjian persekutuan seumur hidup antara seorang pria dan seorang wanita, yang ditujukan untuk kebaikan pasangan itu sendiri serta untuk kelahiran dan pendidikan anak-anak (KGK, 1601). Komitmen dalam pernikahan Katolik melibatkan kesetiaan, cinta yang tanpa syarat, dan pengorbanan diri demi kesejahteraan pasangan dan keluarga.
Paus Fransiskus (2016), dalam Amoris Laetitia, menyoroti bahwa komitmen dalam pernikahan adalah tindakan yang berani dan radikal. Pasangan saling memberikan diri mereka secara penuh dan tanpa syarat. Komitmen ini menuntut kesetiaan dan ketekunan, meskipun menghadapi berbagai tantangan dan godaan yang mungkin muncul dalam kehidupan berumah tangga.
Janji pernikahan yang diucapkan saat upacara pernikahan merupakan momen yang sangat sakral dan bermakna dalam tradisi Katolik. Janji ini mencerminkan komitmen yang tulus dan ikhlas dari kedua mempelai untuk saling mencintai dan menghormati sepanjang hidup mereka. Janji tersebut berbunyi: "Aku, (nama), mengambil engkau, (nama), menjadi istri/suami yang sah. Aku berjanji untuk setia kepadamu dalam untung dan malang, dalam sehat dan sakit. Aku akan mencintai dan menghormatimu sepanjang hidupku." Kata-kata ini tidak hanya sekadar formalitas, tetapi pernyataan iman dan komitmen yang mendalam, yang mengikat kedua mempelai dalam ikatan kasih yang suci dan tak terpisahkan. Menurut ajaran Katolik, janji ini adalah manifestasi dari kehendak Tuhan yang menyatukan dua individu dalam satu daging (Mat 19:6).
Komitmen dalam pernikahan Katolik adalah pilar utama yang membangun dan mempertahankan keutuhan rumah tangga. Tanpa komitmen yang kuat, pernikahan rentan terhadap berbagai tantangan dan cobaan yang bisa menggoyahkan fondasinya. Komitmen ini memberikan stabilitas dan keamanan emosional bagi pasangan, memungkinkan mereka untuk menghadapi masa-masa sulit dengan keyakinan dan keberanian.
Menurut John Gottman (1999), dalam The Seven Principles for Making Marriage Work, komitmen adalah kunci untuk pernikahan yang bahagia dan langgeng. Pasangan yang berkomitmen cenderung lebih mampu mengatasi konflik dan membangun hubungan yang lebih kuat dan harmonis. Komitmen melibatkan kesediaan untuk bekerja sama dalam menyelesaikan masalah, memberikan dukungan emosional, dan menjaga komunikasi yang terbuka dan jujur. Menurut Paus Yohanes Paulus II (1981), dalam Familiaris Consortio, keluarga yang didirikan atas dasar komitmen suci adalah tempat kasih dan kesetiaan berkembang dan menjadi teladan bagi anak-anak. Komitmen yang tulus dan ikhlas akan membentuk keluarga yang kuat dan penuh kasih, yang mampu memberikan pengaruh positif bagi masyarakat dan Gereja.
Tantangan Menjaga Kesetiaan dalam Pernikahan Katolik
Fenomena godaan duniawi. Dalam era modern ini, godaan duniawi menjadi salah satu tantangan terbesar dalam menjaga kesetiaan pernikahan Katolik. Materialisme, perselingkuhan, dan pornografi merupakan beberapa bentuk godaan yang sering mengganggu keutuhan rumah tangga.
Materialisme dapat menggeser fokus dari nilai-nilai spiritual dan moral yang seharusnya menjadi dasar dalam pernikahan. Menurut Paus Fransiskus (2015), dalam Laudato Si', budaya konsumtif telah menciptakan nilai-nilai palsu yang mengganggu hubungan manusia dan mengikis fondasi keluarga.