Mendikbudristek, Nadiem Makarim baru-baru ini (20 Mei 2024) meluncurkan program 'Sastra Masuk Kurikulum' sejalan dengan tujuan Merdeka Belajar pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Hal itu berarti sastra, sebagai pilar budaya dan peradaban, berperan penting dalam kehidupan dengan menawarkan perspektif berbeda, menggugah emosi, dan membangkitkan pemikiran kritis. Sayangnya, banyak yang masih memandang jurusan sastra hanya berhubungan dengan membaca dan menulis fiksi.
Padahal, sastra mencakup berbagai disiplin ilmu seperti linguistik, budaya, sejarah, psikologi, dan filsafat. Mahasiswa jurusan sastra belajar menjadi pemikir kritis, peneliti, pengajar, penerjemah, dan profesi lainnya yang memerlukan keahlian analitis dan komunikasi yang kuat. Melalui kebijakan baru ini, siswa diperkenalkan pada dunia sastra sejak dini, mengembangkan kemampuan berpikir kritis, dan meningkatkan apresiasi terhadap karya-karya sastra. Hal ini diharapkan mendorong generasi muda lebih menghargai sastra dan menyadari berbagai peluang karier yang ada. Dengan demikian, jurusan sastra bukan sekadar tentang menjadi penulis.
Mitos dan Stigma tentang Jurusan Sastra
Jurusan sastra sering menghadapi berbagai mitos dan stigma yang merugikan. Pemahaman yang salah tentang jurusan ini menghalangi banyak individu mengeksplorasi potensinya. Berikut, beberapa mitos dan stigma yang umum dilekatkan pada jurusan sastra.
Hanya melahirkan penulis. Pandangan bahwa lulusan jurusan sastra hanya bisa menjadi penulis novel atau cerpen sangat sempit dan tidak mencerminkan kenyataan. Sastra tidak saja mengajarkan keterampilan menulis, tetapi juga melatih kemampuan analitis, kritis, dan komunikatif yang sangat berharga di berbagai bidang.
Jurusan yang mudah. Jurusan sastra adalah pilihan yang mudah karena hanya berkutat dengan membaca dan menulis. Padahal, studi sastra melibatkan analisis mendalam terhadap teks-teks yang kompleks, memahami konteks historis dan budaya, serta mengembangkan kemampuan argumentatif yang kuat.
Tidak memiliki prospek karier yang jelas. Stigma bahwa lulusan sastra tidak memiliki prospek karier yang jelas atau terbatas sudah tertanam dalam pikiran masyarakat. Padahal, lulusan sastra memiliki peluang karier yang sangat beragam dan bisa bekerja di berbagai sektor.
Mitos-mitos di atas dapat dimurnikan melalui beberapa argumen, sebagai berikut.
Beragam prospek karier. Lulusan sastra tidak hanya terbatas pada profesi penulis. Menurut Dianne F. Sadoff (2020), dalam Sciences and the Humanities in the Theory of Culture, lulusan sastra dapat memasuki berbagai bidang seperti penerbitan, jurnalisme, pendidikan, periklanan, dan hubungan masyarakat. Mereka juga memiliki keterampilan yang dibutuhkan dalam analisis data dan penelitian, yang bisa diaplikasikan dalam sektor bisnis dan teknologi.
Kompleksitas dan kedalaman studi sastra. Jurusan sastra membutuhkan pemahaman mendalam tentang teori sastra, kritik, dan sejarah, yang sering lebih kompleks daripada yang dibayangkan. Dalam The Value of the Humanities, Helen Small (2013) menyatakan bahwa studi sastra melibatkan pendekatan interdisipliner yang menggabungkan pengetahuan bidang sejarah, filsafat, dan linguistik, yang bukanlah bidang yang mudah.
Pengakuan kemampuan analitis dan kreatif. Penelitian yang dilakukan National Association of Colleges and Employers (NACE) tahun 2021 menunjukkan bahwa keterampilan yang dimiliki lulusan sastra, seperti kemampuan berpikir kritis, menulis efektif, dan keterampilan komunikasi sangat dihargai di pasar kerja. Banyak perusahaan mencari karyawan yang mampu berpikir kreatif dan analitis untuk posisi seperti manajer proyek, analis riset pasar, dan spesialis komunikasi.