Mohon tunggu...
Agustinus Sukaryadi
Agustinus Sukaryadi Mohon Tunggu... Dosen - Agustinus Sukaryadi

Tempat, tanggal, lahir: Yogyakarta, 25 Agustus 1956

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Selamat Datang Polisi Virtual

3 Agustus 2021   16:58 Diperbarui: 3 Agustus 2021   17:08 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Seseorang berkelana dari negerinya, ingin mencari kebebasan. Ia sudah jenuh hidup dalam sebuah masyarakat. Ia pergi berlayar, dan menemukan sebuah pulau yang masih perawan. Kemudian hidup sendirian, berteman dengan kawanan binatang dan tumbuh-tumbuhan. Apakah orang tersebut menemukan kebebasan yang ia cari? Ternyata tidak. 

Dia bebas, tidak berurusan dengan sesama manusia. Namun dia tetap tidak bisa tidur di sembarang tempat. Ada binatang liar yang bisa memangsa. Dia juga tetap mengenakan pakaiannya, karena hawa dingin yang menusuk kulit. Tidak bisa pula memakan segala buah-buah yang ada di pulau tersebut. Ada buah yang tinggi dan tak terjangkau, dan saat buah jatuh sudah busuk terlalu masak. Dia pun harus membuat gubug untuk berlindung dari sengatan matahari, air hujan, serangan hewan dan cuaca dingin.

Setelah sekian lama hidup sendirian, dia merasa sepi. Tidak ada kawan untuk berbincang. Dia pun  kembali kenegerinya mengajak beberapa teman akrabnya. Sesampai di pulau baru itu, mereka bersepakat dalam beberapa hal. Jadilah sebuah komunitas masyarakat kecil. Maka jika kita mendengar istilah, "manusia adalah makhluk sosial" itu sebuah keniscayaan, tidak perlu diragukan. Seseorang tidak bisa hidup dalam kesendirian, terpencil selamanya. Ia akan mengalami kesendirian dan kesepian yang dalam. Setiap individu membutuhkan satu sama lain untuk bertahan hidup dan untuk hidup sebagai manusia. Ada saling ketergantungan, yang memunculkan kerjasama yang bersifat sementara atau permanen.  Kerjasama yang permanen ini menghasilkan bentuk sebuah masyarakat.

Banyak kelompok masyarakat yang mempunyai kesepakatan bersama dan berlaku setempat. Masing-masing berbeda, ada kelebihan dan kekurangan masing-masing. Maka muncul istilah "lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya". Ini menjadi gambaran bagaimana beragamnya bentuk kerjasama masyarakat, adat istiadat dan kearifan-kearifan yang beragam pula. Dalam skala besar (dunia) terumus teori-teori sosial. 

Jadi ada kekhasan masing-masing kelompok sosial merumuskan dan mengetrapkan dalam kehidupan bersama. Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, menjadi peraturan atau hukum untuk mengatur kehidupan bersama.  Kearifan lokal, kesepakatan, peraturan dan hukum berlaku universal. mengatasi yang bersifat parokial, atau untuk segolongan masyarakat.

Kebebasan merupakan satu pilar hak azasi manusia, dimiliki oleh setiap orang, tidak memandang jenis kelamin, bangsa, etnis, agama, bahasa dan lainnya. Kebebasan memeluk agama, kebebasan berekspresi, memilih pasangan hidup, kebebasan untuk bekerja dan mendapatkan nafkah, mendapatkan pendidikan, dlnya. Ada prinsip-prinsip yang mendasari konsep hak azasi manusia yaitu menjunjung martabat manusia dan kesetaraan/persamaan/egaliter. 

Setiap tindakan yang mengatasnamakan hak azasi manusia (termasuk kebebasan berekspresi) harus tetap untuk menjunjung martabat kemanusiaan dan kesetaraan/persamaan. Ini yang membatasi kebebasan itu. Pemahaman ini senada dengan semboyan yang menjadi acuan bagi kehidupan demokrasi "liberty, equality, fraternity" (kebebasan-kesetaraan-persaudaraan). Menghidupi semboyan ini tidak bisa sepotong-sepotong, kebebasan saja tanpa kesetaraan dan persaudaraan, martabat manusia akan direndahkan dan persaudaraan akan hancur.

Ujaran kebencian, hoax dan demonstrasi, teriak-teriak merupakan bentuk kebebasan berekspresi. Namun tindakan tersebut merendahkan martabat kemanusiaan bagi yang melakukan maupun orang lain yang dimaki-maki atau dibuly. Pembohongan publik juga merendahkan martabat si pembuat kebohongan dan merendahkan martabat masyarakat. Membodohkan masyarakat yang berarti merendahkan martabat kemanusiaan. Tindakan tersebut mengesampingkan kesetaraan. Menganggap orang lain rendah, pantas dibuly, dimaki atau dianiaya. Dengan demikian pasti akan merusak persaudaraan.

Polisi Virtual hadir untuk menjaga keharmonisan dan keseimbangan ketiga hal tersebut. Kebebasan agar sesuai dengan prinsip menjunjung martabat kemanusiaan dan kesetaraan. Kebebasan berekspresi tetap menjunjung kesetaraan (gender, martabat, kedudukan dalam hukum, dll) dan menjunjung persaudaraan. Persaudaraan dalam arti luas adalah kesatuan dan persatuan nasional.

Selamat datang Polisi Virtual, selamat bekerja. Masyarakat menunggu aksimu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun