PONTIANAK -- Pentingnya perhelatan akbar pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak di Indonesia tahun 2020 mendatang menyedot perhatian banyak pihak, termasuk para Senator Indonesia. Maria Goreti, anggota Komite I DPD RI asal Kalbar memandang perlu mempersiapkan payung hukum Pilkada langsung agar mengakomodir kebutuhan daerah-daerah di Indonesia dalam penyelenggaraan Pilkada yang berkualitas. Sebagaimana diketahui, ada 270 daerah pemilihan di seluruh Indonesia yang akan melaksanakan Pilkada serentak, terdiri atas 9 Â provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota. Provinsi Kalbar akan menggelar Pilkada langsung di 7 kabupaten, yakni Kabupaten Kapuas Hulu, Ketapang, Sekadau, Melawi, Sintang, Sambas dan Bengkayang.
Pada kunjungan ke daerah pemilihan Kalbar di penghujung tahun 2019, Maria Goreti menggelar rapat kerja dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kalbar dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kalbar di Hotel Orchardz Gajahmada Pontianak, Selasa, (31/12). Rapat kerja ini dilakukan dalam rangka menginventarisir materi yang akan dijadikan bahan rujukan perbaikan dalam menyusun RUU Perubahan Ketiga UU No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi UU Pilkada. Selain itu, mendengarkan persiapan Pilkada serentak 2020 dimana tujuh kabupaten di Kalbar akan malaksanakan Pilkada.
Dalam pengantar rapat kerja menjelang tahun baru 2020 itu, Maria Goreti mengatakan, inilah pertemuan pertama dalam masa kunjungan ke daerah pemilihan Kalbar setelah dilantik 1 Oktober 2019 lalu.
"Suatu kehormatan bagi saya karena ibu bapak para Komisioner KPU Kalbar dan Bawaslu Kalbar nyaris hadir 100 persen ditambah sekretariat dari masing-masing lembaga penyelenggara Pemilu di Provinsi Kalimantan Barat. Bagi saya, kehadiran bapak ibu ini full team. Semoga pertemuan hari ini menjadi awal yang baik sebagai kemitraan Komite 1 DPD RI dalam menyusun regulasi yang akomodatif dan fleksibel untuk memperlancar kinerja khususnya penyelenggara Pemilu, yaitu KPU dan Bawaslu," jelas senator legendaris yang memasuki periode keempat sebagai wakil daerah Provinsi Kalbar di DPD RI.
Ketua KPU Kalimantan Barat, Ramdan mengatakan, beberapa hal yang mungkin dapat dijadikan bahan evaluasi atas UU yang akan dirubah demi perbaikan yaitu, pertama berkaitan dengan waktu pelaksanaan pemilihan calon legislatif dan eksekutif perlu dipisahkan agar tidak memberatkan. Misalnya, tahap pertama Pemilu legislatif, terdiri dari DPR RI, DPD RI, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Tahap kedua, pemilihan eksekutif, prsesiden, gubernur, bupati dan walikota.
Komisioner KPU Kalbar yang pernah memimpin KPU Kota Singkawang periode 2013-2018 ini menjelaskan, beban kerja para penyelenggara dengan menghitung tujuh kotak suara secara serentak sungguh sangat berat. Hal itulah yang kemudian menimbulkan begitu banyak korban, baik yang meninggal maupun yang sakit akibat kelelahan. "Ke depan juga perlu peraturan batasan umur dan pemeriksaan kesehatan para calon  petugas KPPS dan PPK agar pengalaman banyaknya jatuh korban tidak terulang kembali," tutur Ramdan. Ia menjelaskan, menurut data KPU, jumlah korban jiwa Pemilu yang lalu, KPPS 24 orang, PPK 2 orang, PPS 5 orang dan linmas 3 orang. Sementara yang mengalami sakit pasca pencoblosan ada 166 orang.
Hal lain yang menjadi kesulitan KPU juga adalah menverifikasi warga binaan di lembaga pemasyarakatan (Lapas). Pengalaman yang lalu, KPU mengalami kesulitan mendata calon pemilih yang menjadi warga binaan Lapas karena kebanyakan mereka tidak memiliki identitas atau identitas yang disamarkan atau nama alias. Oleh karena itu, perlu koordinaasi antara Dukcapil, Lapas dan Kepolisian. Juga perlu pendataan KTP berkelanjutan oleh Dukcapil setempat agar warga binaan dapat memberikan hak pilihnya.
Di akhir paparannya, Ketua KPU Kalbar menggarisbawahi hal terkait surat dukungan pengurus pusat parpol pengusung kepada calon kepala daerah yang diberikan pada menit-menit terakhir -- last minute dari waktu yang ditentukan. "Harapan KPU, perlunya para peserta calon untuk berkoordinasi dengan partai politik. Perlunya waktu bukan 14 hari tetapi lebih, mengingat volume kerja dan geografi daerah berkaitan dengan proses verifikasi pendukung calon perseorangan yang sangat banyak dan sebaran luas, sementara tenaga penyelenggara sedikit," demikian Ramdan.
Ketua Bawaslu Kalbar, Ruhermansyah mengkritisi tugas strategi Bawaslu dalam pengawasan, pencegahan pelanggaran pemilu, seluruh tahapan mulai dari pemutahiran data pemilih, proses pencalonan, vertifikasi faktual calon perseorangan, mesti berjalan sinergis dengan KPU. Berkaitan dengan sanksi pelanggaran politik, Bawaslu memberikan saran untuk lebih memperjelas mengenai tim kampanye dan orang-orang yang terlibat dalam praktik politik uang. Karena misalnya, kalau praktek politik uang itu tidak dilakukan oleh subjek peserta pemilu dan tim kampanye, tidak dapat dijerat dengan  pidana hukum positif. Oleh karena itu, Bawaslu berharap agar orang-orang yang melakukan politik uang yang "menggunakan orang lain" bukan tim seperti yang sudah didaftarkan oleh calon peserta pemilu, juga mestinya dapat dijerat pidana.
"Saya memohon kepada Senator Maria Goreti juga bisa mendorong Komite 1 DPD RI untuk mensosialisasikan penerapan sanksi berdasarakan kearifan lokal. Kalbar memiliki instrumen itu, yaitu dengan menggunakan adat setempat. Tujuaannya, agar calon peserta Pemilu memiliki rasa malu kalau pihaknya melakukan politik uang. Jadi intensi pertama adalah mendorong pertama-tama pada sanksi administratif bukan dibawa kepada sanksi pidana," papar Ruhermasyah.