Mohon tunggu...
Agustinus Tamen
Agustinus Tamen Mohon Tunggu... Freelancer - Sekolah bisa tamat, tapi belajar tak pernah tamat.

Freelancer, Jurnalis & Editor

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Nostalgia di Kota Tua "Kapuas Indah"

21 Agustus 2012   04:59 Diperbarui: 18 Mei 2020   16:03 858
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Hari baru saja beranjak fajar. Hangat mentari mulai terasa hingga di pelataran sebuah vihara di kawasan perniagaan lama Kapuas Besar. Tak jauh dari tepian Sungai Kapuas di Kota Pontianak, Provinsi Kalbar.

Vihara Bodhisatva Karaniya Metta namanya. Bangunan tua yang bagi kebanyakan orang kerapkali terlewatkan untuk dikunjungi. Padahal vihara ini mempunyai daya tarik tersendiri sebagai objek wisata kota tua. Terkecuali bagi orang Tionghoa penganut keyakinan Konghucu ataupun agama Budha, setiap tanggal 1 dan 15 Masehi pada pertengahan bulan, sebagian besar orang Tionghoa mengadakan peribadatan rutin di vihara ini.

Letak vihara persis di ujung pertemuan ruas jalan Sultan Muhammad dan jalan Gusti Ngurah Rai, Pontianak. Tak jauh dari komplek pertokoan Kapuas Indah. Seluruh bangunan vihara didominiasi oleh warna merah dan dipenuhi ornamen khas Tiongkok, seolah menyimpan sejarah bangunan itu.

Sebelum memasuki vihara, sebuah tembok beton dengan pilar-pilar tinggi saling terhubung menyerupai gerbang. Diselingi oleh pagar besi yang berfungsi sebagai pintu keluar-masuk vihara, merupakan pagar pembatas antara kawasan peribadatan vihara dan kawasan untuk publik.

Di bagian depan bangunan induk vihara, terdapat tiga buah gerbang yang merupakan perwakilan dari 3 kelenteng. Masing-masing memiliki arti, lambang serta dewanya sendiri-sendiri. ”Pintu sebelah timur merupakan pintu untuk kuil Darma. Pintu kedua adalah pintu untuk kuil Bodhisatva, dan pintu ketiga adalah pintu untuk kuil Sangha,” tutur Asui (60), si penjaga vihara.

Setiap beberapa menit terdengar bunyi tambur ditabuh. Maknanya, memberi tanda kepada “penghuni surga” bahwa umat-Nya telah datang untuk berdoa. Harum dupa hio melambung ke langit. Sejumlah umat yang datang untuk bersembahyang mengangkat hio-nya untuk berdoa kepada para dewa. Mayoritas peziarah tidak hanya berdoa kepada satu dewa. Yang menarik, tidak ada pemisahan antara dua kepercayaan itu. Semua dewa berada dalam satu ruangan yang hanya dipisahkan sekat yang nyaris tanpa batasan berarti.

Sejauh mata memandang, kawasan luar vihara merupakan pelataran yang berfungsi sebagai “terminal” dan area bongkar muat kendaraan bis dan kapal motor yang melayani rute dari Pontianak menuju daerah perhuluan Kalbar. Nampak sejumlah truk dan bis bertulisan “Valenti” diparkir di area terminal. Sementara beberapa kapal motor sedang melakukan aktivitas bongkar muat di tepian Sungai Kapuas, persis bersebelahan dengan area terminal.

Layaknya pemandangan di kawasan perniagaan, di sekeliling terminal itu berjejer sejumlah ruko dan warung-warung kecil para pedagang kaki lima.

Bersebelahan dengan Vihara Bodhisatva Karaniya Metta, sekitar 50 meter dari area terminal, terdapat bangunan komplek pertokoan “Kapuas Indah”. Konon, pada tahun 90-an pusat pertokoan ini sangat terkenal dan menjadi pilihan favorit untuk tempat berbelanja. Kala itu, “Kapuas Indah” ibarat megamall-nya orang Pontianak dan sekitar.

Pusat Perbelanjaan Kapuas Besar di Jalan Sultan Muhammad, Kota Pontianak.
Pusat Perbelanjaan Kapuas Besar di Jalan Sultan Muhammad, Kota Pontianak.
 

Merangsek ke area lain namun masih di kawasan Pusat Perbelanjaan Kapuas Besar, di jalan Sultan Muhammad, nampak ribuan kendaran sepeda motor dan berbagai jenis mobil diparkir memenuhi sepanjang kiri-kanan bahu jalan. Tak banyak yang berubah dari kawasan perdagangan ini. Para pedagang dan konsumen sibuk lalu-lalang melakukan kegiatan ekonomi mereka. Selaras dengan aktivitas yang tak pernah berubah dari tahun ke tahun. Dulu, di sini lah, di kawasan Kapuas Besar ini nadi perekonomian Kota Pontianak, bahkan Provinsi Kalbar pada umumnya digerakkan. Kala itu, Pontianak dikenal dengan nama Khuntien.

Pusat perbelanjaan Kapuas Besar, seperti juga Kapuas Indah kala itu bisa dikatakan sebagai megamal-nya orang Pontianak. Termasuk juga bagi warga dari hulu Sungai Landak, Sungai Kapuas, serta beberapa anak sungai lainnya seperti: Ambawang, Samih, Kubu Padi, dan Retok. Berbagai kebutuhan ada di pasar rakyat ini, mulai sembako, pakaian, peralatan petani-nelayan dan sebagainya. Hanya saja, Kapuas Besar masih seperti dulu. Tak ada penataan yang berarti. Masih becek dan kumuh.

Kesibukan warga tak hanya terlihat di pusat perbelanjaan Kapuas Besar, melainkan juga hingga pelabuhan Senghie. Di penghujung ruas jalan Sultan Muhammad, tak jauh dari persimpangan dengan jalan Pangsuma. Senghie adalah nama pelabuhan sungai yang masih berada dalam kawasan Kapuas Besar. Letaknya berada di pinggiran Sungai Kapuas, persis berhadapan dengan deretan sejumlah bangunan tua. Antara lain komplek Yayasan Kuning Agung. Tak jelas apa makna kata “Senghie” yang berasal dari kosakata Tionghoa itu.

Kesibukan warga terlihat jelas di kawasan pelabuhan Senghie. Sejumlah pekerja kapal dan pelabuhan duduk-duduk sambil menikmati secangkir kopi di warung-warung sekitar pelabuhan. Ada juga yang sibuk dengan aktivitas bongkar muat barang di kapal-kapal yang sedang sandar. Sejumlah kapal motor, exspres dan cargo pun sibuk melayani bongkar muat dan transportasi rakyat dari dan ke daerah perhuluan melalui pelabuhan Senghie. Nampak juga speedboat dan perahu sampan yang lalu-lalang melayani transportasi masyarakat Pontianak dan sekitarnya.

Pemandangan indah di tengah Sungai Kapuas berupa kapal-kapal motor yang lalu-lalang merupakan faktor pemikat bagi wisata domestik Kalbar, khususnya Pontianak. Belum lagi bila bertepatan dengan aksi kreatif dan menarik sejumlah warga yang memfungsikan pelataran pelabuhan Senghie untuk tempat pemancingan udang dan ikan. Pasti kita bisa menikmati pemandangan seperti itu dari tepian Sungai Kapuas hingga sore dan malam hari.

Meski begitu, tak cukup rasanya jika jalan-jalan bernostalgia di kota tua ini belum sampai di bangunan tua persis di depan pelabuhan Senghie. Sebuah bangunan berarsitektur khas bangunan tua yang terbuat dari kayu belian atau ulin berdiri kokoh dengan dua tiang penyangga utama berada di tengah-tengah bangunan. Gedung yang didirikan Ng Kim Thang pada tahun 1925 dan masih bertahan hingga sekarang itu adalah gedung Yayasan Kuning Agung. Yayasan ini bergerak di bidang sosial khususnya di bidang pemakaman.

Sayangnya, pemerintah daerah kerapkali memandang kawasan dan bangunan-bangunan tua seperti ini sebagai beban APBD semata. Sehingga tak pernah mencoba melirik keberadaan cagar budaya yang ada sebagai peluang mengembangkan potensi pariwisata daerah.

(Wid/Agus/WB 7 Th. 2012)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun