Melihat teror yang belakangan ini terjadi di kota Paris tentu kita berfikir bahwa media Charlie Hebdo merupakan salah satu pemicu pihak Al-qaeda maupun ISIS dalam serangan tersebut. Charlie Hebdo adalah sebuah media di Paris yang paling sering membuat sindiran-sindiran terhadap banyak pihak. Media Charlie Hebdo ternyata bukan hanya menyindir para Politisi tetapi juga menyindir Umat Beragama. Salah satunya yang paling sering disindir adalah Umat Muslim dengan beberapa kali membuat Karikatur Nabi Muhammad. Berkali-kali kantor media ini sudah diancam beberapa pihak yang terganggu dengan karikatur-karikatur tersebut tetapi kantor media ini tidak perduli dan akhirnya 3 pelaku teroris menghabisi para pekerja yang ada di kantor tersebut, kebebasan berpendapat dan kebebasan memeluk Agama maupun tidak beragama yang diterapkan Pemerintah Prancis telah membuat Paris sulit untuk mengendalikan kaidah yaitu menghormati antar sesama umat beragama lain.
Prancis sendiri merupakan Negara Eropa dengan jumlah umat muslim terbanyak dibanding Negara-negara Eropa lainnya. Prancis selalu ikut aktif bersama Amerika dan Inggris memerangi para teroris yang umumnya terkait dengan Islam. Prancis selalu mengerahkan militernya untuk konflik-konflik yang terjadi di Mali, Libya, Suriah hingga Irak. Tercatat lebih 10.000 pasukan Prancis begitu aktif memerangi teroris di sejumlah Negara Africa dan Timur Tengah. Di sisi lain sebenarnya sebagian besar organisasi teroris yang ada di Negara-negara tersebut termasuk ISIS memiliki anggota yang merupakan warganegara Prancis. Diperkirakan hampir seribu orang WN Prancis aktif dalam organisasi ISIS. Dan kemarin tanggal 13 November 2015 di sejumlah tempat di Paris terjadi lagi serangan-serangan teroris di Paris yang menyebabkan 130 nyawa melayang dan puluhan luka-luka. Banyak dugaan serangan ini dilakukan oleh jaringan-jaringan teroris Al-qaeda maupun jaringan ISIS. Serangan sporadis di berbagai tempat ini akhirnya menjadi perhatian dunia. Meskipun beberapa pihak dari ISIS telah mengklaim bahwa serangan itu dilakukan oleh mereka tetapi belum bisa dipastikan akurasi kebenarannya. Musuh Prancis dari kalangan umat Muslim sangat banyak. Di Penjara-penjara Paris diperkirakan 70% para tahanannya adalah warga Muslim. Di sisi lain seminggu yang lalu Presiden Prancis Francois Hollande sudah mengumumkan Prancis mengerahkan Kapal Induk menuju Teluk Persia untuk memerangi ISIS.
Pasca tragedi teror telah memberikan ekses yang signifikan bagi keamanan global dimana tragedi itu menunjukkan bahwa tidak ada tempat yang aman di dunia ini dari serangan terorisme. Terlebih di era globalisasi sekarang, akses informasi dan komunikasi dapat berlangsung cepat dan transaksi keuangan semakin mudah dilakukan. Kondisi ini yang membuat terorisme semakin terfasilitasi sehingga segala aksi yang mereka lakukan semakin efektif. Penindasan dan ketidakadilan sosial seringkali disebut sebagai penyebab dari terorisme yang terjadi di abad ke-21 ini, sehingga kebangkitan terorisme internasional juga tidak terlepas dari konstelasi geopolitik global, khususnya di Timur Tengah. Anehnya, mengapa kekejaman seperti pembantaian terhadap orang lain yang tidak bersalah dan terkadang pengorbanan diri mereka sendiri, misalnya dalam peristiwa suicide bomb (bom bunuh diri), terkadang juga mendapat pembenaran? Karena sejarah mencatat, bahwa istilah ‘terorisme’ sebagai suatu definisi bersifat inkonsisten. Beberapa individu yang sebelumnya dikenal masyarakat sebagai pelaku terorisme, pada waktu yang berbeda dan keadaan yang berubah, telah menjadi pahlawan yang di elu-elukan masyarakat. Contohnya, beberapa pemimpin kelompok teroris Yahudi seperti Yitzhak Shamir dan Manachem Begin, pada akhirnya berhasil mencapai kedudukan sebagai Perdana menteri Israel, setelah nama mereka dulu pernah tercatat sebagai pemimpin-pemimpin ’Palmach’ (1940) dan jaringan ’Irgun’ (1944), organisasi-organisasi kaum teroris yang paling dibenci Inggris bahkan dunia internasional. Semua kini telah berubah dan keadaan bahkan telah terbalik, karena Dengan demikian terorisme menjadi sulit untuk dinyatakan sebagai suatu kejahatan yang tercela sepanjang sejarah, walaupun sepanjang sejarah pula, terorisme dalam etika, norma, moral, dan estetika kehidupan umat manusia tidak mempunyai nilai. Tapi mengapa para teroris tersebut justru menilai jiwa manusia hanya sebagai gejala materi semata-mata, membunuh tanpa batasan, dengan tak terkecuali? Jawaban atas pertanyaan tersebut bersifat epistemologis, yaitu karena para teroris dan simpatisannya sama-sama mengalami kegalatan kategori (category mistake). Kegalatan kategori kategori mengandung arti ketidakmampuan untuk membedakan sesuatu terhadap yang lain. Osama bin Laden sebagai pemimpin jaringan al-Qaeda, yang sebagian terbesar merupakan warga yang memposisikan diri dari wilayah centrum (pusat), berada pada posisi yang tidak layak untuk mempengaruhi pikiran seluruh umat Islam di luar Arab termasuk Indonesia, yang diposisikan di wilayah periferi (pinggiran). Hal tersebut terbukti bahwa ucapan bersifat performatif Osama Bin Laden yang dilontarkannya, tidak membangkitkan ide yang sama dalam pikiran sebahagian besar kaum muslimin di Indonesia. Bahkan terjadi suatu silang pemikiran, sehingga mereka mempunyai gagasan yang berbeda dan cenderung menolak. Ungkapan Osama bin Laden dalam memperjuangkan gagasan-gagasannya, dinilai oleh umat Islam non-Arab termasuk Indonesia, cenderung tidak mempertimbangkan realitas, kondisi sosial dan tradisi nasional masing-masing bangsa sendiri. Di samping itu jaringan al-Qaeda dipandang bersifat anti intelektual dan bersifat superfisial yang berhaluan keras .
Dewasa ini terorisme telah memiliki dimensi yang sangat luas dan berhubungan dengan berbagai aspek kehidupan manusia, sehingga tidak dapat dikategorikan lagi sebagai aksi dalam suatu low intensity conflict (konflik berintensitas rendah). Sasaran terorisme tidak hanya kehidupan politik sebagaimana pada awal kemunculannya, melainkan telah merambah sehingga menghancurkan semua sendi kehidupan manusia, seperti menghancurkan segenap infrastruktur sosial, ekonomi dan terusiknya rasa kemanusiaan dalam masyarakat dunia yang beradab.
Â
SUMBER :
Abdul wahid, dkk, (2004) Kejahatan Terorisme Prespektif Agama, HAM, dan Hukum. Bandung: PT. Rafika Aditama
Cottam, M.L.,dkk (2012) Pengantar Psikologi Politik. Jakarta: Rajawali Pers
http://www.satuharapan.com/read-detail/read/joas-sebut-tragedi-charlie-hebdo-kesalahan-dua-ekstrem
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H