KEMARIN—22Maret—adalah Hari Air Sedunia. Nasnya, mesin air di rumah malah mati. Perlu diperbaiki sekian jam agar bisa beroperasi lagi. Alhasil, aktivitas pagi kerumahtanggaan pun terganggu. Anda tahu sendirilah. Aktivitas pagi kerumahtanggaan itu mayoritas membutuhkan air. Mulai dari bikin kopi hingga mandi dan gosok gigi. Belum lagi untuk urusan mencuci dan buang air kecil-buang air besar. Semua jelas butuh air. Â
Apa boleh buat? Gara-gara mesin air rusak, segala aliran air di rumah terhenti. Aktivitas-aktivitas pagi yang biasanya lancar jadi tersendat. Beruntung masih ada sisa air di bak kamar mandi. Setidaknya persiapan anak ke sekolah tidak terganggu. Tidak perlu emaknya meminta air beberapa ember ke tetangga sebelah.
Meskipun meminta itu gratis, rasanya tetap tak nyaman. Bukan perkara gengsi dan harga diri lho, ya. Bukan pula karena si tetangga yang dimintai air bersikap jutek. Hanya saja, bolak-balik mengangkut air dengan ember ‘kan bikin capek. Mana makan waktu pula. Ujung-ujungnya, TDL (= To Do List) seharian itu jadi lumayan kacau-balau. Aktivitas pagi justru baru bisa dimulai ketika hari sudah siang.Â
Lalu, apa hubungan Hari Air Sedunia dengan curhatan di atas? Begini. Tepat ketika mulai menggerutu, saya mendadak merasa malu. Bahu ini serasa ditepuk kuat-kuat. Diingatkan pada perbincangan di radio, yang beberapa saat sebelumnya saya dengarkan. Yakni perbincangan mengenai fakta-fakta yang terkait dengan Hari Air Sedunia.
Sungguh, itu merupakan perbincangan yang bikin saya sedih sekaligus bersyukur. Sedih sebab ternyata di beberapa daerah, masih banyak orang yang kesulitan untuk mengakses air bersih. Sementara di lain tempat, orang-orang yang dulunya tak bermasalah dengan akses air bersih harus menghadapi kenyataan pahit. Kenyataan pahitnya dua macam. Pertama, sumber mata air bersih mereka menyusut secara drastis, padahal kampung mereka tak jauh dari pegunungan yang pepohonannya asri. Kedua ,sumber mata air bersih mereka berubah jadi keruh dan tak layak pakai. Adapun dua macam kenyataan pahit tersebut muncul sebab tidak bijaksananya segelintir orang dalam mengelola pembangunan gedung-gedung di wilayah hijau.Â
Sementara itu, saya bersyukur sebab ditakdirkan mudah untuk mengakses air bersih. Tanpa perlu keluar duit untuk membayar air bersih berember-ember. Tanpa perlu repot mengambilnya dari sumber mata air yang jauh. Tinggal memencet tombol mesin air, lancar jayalah seluruh aliran di keran-keran seantero rumah. Jadi kalau hanya macet air sekian jam, mestinya saya tak perlu menggerutu. Mereka yang mesti membayarpuluhan ribu rupiah per hari—demi beberapa ember air bersih—itulah yang lebih patut menggerutu.
Lalu,saya sedikit merenungkan ulang mengenai hubungan saya dengan air. Huft! Syukurlah. Selama ini saya relatif bijaksana dalam mempergunakan air. Tidak pernah membuang-buangnya percuma. Insya Allah ke depan, kesadaran bijak terhadap penggunaan air bersih ini akan selalu saya genggam erat-erat. Selain mensyukuri tiap tetes air bersih yang ternikmati, memang baru sebatas itu sumbangsih saya dalam melestarikan sumber air bersih. Tapi semoga kelak saya dapat terlibat dalam aksi yang lebih nyata. Iya, semoga. Â Â Â Â Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H