Mohon tunggu...
Agustina Purwantini
Agustina Purwantini Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Aktif pula di blog pribadi www.tinbejogja.com

Pada dasarnya full time blogger, sedang belajar jadi content creator, kadang jadi editor naskah, suka buku, serta hobi blusukan ke tempat heritage dan unik.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jogja Itu Candu yang Kontradiktif

9 Mei 2017   01:11 Diperbarui: 9 Mei 2017   04:15 1622
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

RUPANYA telah sangat lama saya melibatkan udara dan cahaya Jogja, pada tiap tarikan napas saya. Sangat tak terasa, lho. Tahu-tahu sudah 25 tahun saya berdomisili di kota istimewa ini. Sejak saya masih ingusan tapi unyu, hingga sekarang jadi sosok dewasa yang complicated. Sejak bis kota jadi idola, hingga bis kota diabaikan keberadaannya. Sejak saya belum tercatat sebagai penduduk DIY, hingga kini saya ber-KTP kodya Jogja.

Iya. Mula-mula saya berstatus sebagai pelajar perantauan. Sebagai anak kos yang kadang kala nelangsa, akibat kiriman wesel dari kampung telat. Namun, beruntunglah saya. Kala itu induk semang kos dan pemilik warung nasi langganan merupakan orang-orang berhati malaikat. Saya tak diusir dari kamar kos meskipun telat bayar uang sewa kamar. Dan, si pemilik warung membolehkan saya kas bon dulu untuk makan. Nanti kalau wesel datang,baru dibayar. Alhamdulillah. Meskipun tak serius-serius amat dalam belajar, faktanya sikap kondusif mereka membuat saya tenang dalam belajar. 

Saya yakin, banyak teman yang punya pengalaman serupa itu. Maka tak berlebihan bila dikatakan bahwa orang-orang biasa semacam induk semang saya dan pemilik warung nasi itu merupakan pahlawan. Pahlawan nyata bagi sekian banyak (calon) sarjana yang merantau di Jogja. Pada poin ini mesti diakui bahwa masyarakat Jogja memang baik hati dan tidak sombong. Namun saya tidak tahu, apakah saat ini masih ada pemilik warung nasi dan induk semang yang sebaik itu. Zaman telah berubah ‘kan?

Waktu memang melaju dengan cepat. Tentu saja dengan membawa banyak perubahan. Baik perubahan yang membahagiakan maupun perubahan yang menyedihkan. Selama kurun waktu 1992-2017, sejak awal menginjakkan kaki di Jogja hingga detik ini, saya pun melihat adanya perubahan-perubahan di Jogja. Mulai dari yang sifatnya sepele, remeh-temeh, hingga yang sangat serius. 

Yang sepele itu misalnya yang terkait dengan fenomena Hari Untarto. Aha! Barangsiapa pada tahun ’90-an tinggal di Jogja, gemar mendengarkan radio, pasti tak asing dengan nama Hari Untarto. Jangankan remaja Jogja asli. Saya yang remaja perantauan saja tahu. Padahal pula, saya tak punya radio. Hanya kerap nebeng mendengarkan radio tetangga kamar kos. Atau, pas saya sedang makan di warung. 

Siapakah Hari Untarto? Hmmm. Dialah The Legend. Haha! Tiap hari namanya mengudara berkali-kali semenjak pagi buta hingga tengah malam buta. Mengudaranya dalam acara kirim-kiriman salam dan lagu. Dia sebagai pengirim, sedangkan yang dikirimi selalu cewek-cewek. Pokoknya kalau sang penyiar bilang “Dari Hari Untarto di Biologi UGM” pasti kelanjutannya “buat A, B, C, ...” yang semuanya cewek. Fenomenal sekali ‘kan?

Sekarang tentu tak bakalan ada lagi sosok sejenis Hari Untarto. Yang menggombal lewat media kirim-kiriman lagu di radio. Pada era kekinian, media penggombalan adalah lewat medsos. Dapat dipastikan, ruang lingkupnya pun tak selokal The Legend Hari Untarto. Internet itu ‘kan mengglobal. Nah, lihatlah. Betapa hal sesepele fenomena Hari Untarto juga bisa menjadi penanda perubahan atmosfer Jogja?   

Di samping fenomena Hari Untarto, masih ada hal-hal sepele lain yang menjadi penanda berubahnya Jogja. Di antaranya perihal hubungan antara mahasiswa dan angkringan. Dahulu angkringan susah dipisahkan dari mahasiswa perantauan. Terutama yang dana kehidupannya pas-pasan. Aih! Jangankan yang pas-pasan. Yang tidak pas-pasan pun menggilai angkringan. Padahal,angkringan yang dimaksudkan di sini adalah The Original Angkringan. Yang betul-betul sederhana bernuansa ndeso

Maka tak mengherankan jika banyak mantan mahasiswa Jogja tahun ’90-an, yang merindukan angkringan. Dalam imajinasi mereka, kelak bila berkesempatan mengunjungi Jogja, nongkrong di angkringan akan menjadi salah satu agenda bernostalgia. Maklum saja. Tatkala itu angkringan adalah tempat makan sekaligus sarana nongkrong yang murah meriah plus hangat bersahabat.

Tapi kelihatannya, mereka alpa untuk memikirkan satu hal. Yakni lupa bahwa Jogja sudah banyak berubah. Memang sih, angkringan ndeso masih ada. Tapi lokasinya tidak lagi di sentra-sentra mahasiswa. Lokasinya sudah tergeser ke pinggiran kota. Mayoritas pengunjungnya adalah orang-orang kampung. Sementara kaum mahasiswa kekinian lebih memilih angkringan yang juga kekinian. Yakni yang dilengkapi dengan wifi dan lebih berkonsep kafe. 

Tak ada yang salah kok, dengan semua itu. Bukankahkemajuan zaman memang tak terelakkan? Dibawa asyik saja. Lagi pula, tidak semua perubahan di Jogja itu buruk, kok. Contohnya perubahan Malioboro. Trotoar sebelah timur jalan yang dulu untuk parkir, kini diubah menjadi tempat nongkrong yang asyik. Menjadi lebih instagramable.  Sebagai bukti, lihatlah foto berikut ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun