Tulisan ini terpantik oleh ucapan (tulisan) seorang teman di sebuah WAG. Kurang lebih dia menulis sebagai berikut.
Happy New Year 2025 ya buat semuaaa. Agak malas sebetulnya ngucapin happy. Dunia sedang tidak baik-baik saja.
Woilah! Begitu membaca tulisannya itu hati saya berontak. Mengapa ragu? Mengapa malas untuk mengucapkan happy hanya karena kondisi dunia?
Kalau malas mengucapkan (menuliskan), mengapa harus dilakukan? Buat apa memberikan ucapan selamat kalau dengan nada pesimis? Lebih baik tidak usah mengucapkan sama sekali.
Lagi pula bukankah semestinya situasi happy, kebahagiaan, tidak tergantung pada hal-hal eksternal? Sungguh rungkad jika kebahagiaan kita tergantung pada hal-hal yang di luar kuasa diri kita.
Jujur, saya memang tercekat saat membaca ucapan (tulisan) teman tersebut. Mengapa dia mesti overthinking begitu? Pakai mengajak/menyebarkan kepada orang lain pula.
Kalau malas mengucapkan Happy New Year sebab cemas dengan situasi, lebih baik diam sajalah. Simpan saja sendiri kecemasan tersebut. Orang lain belum tentu secemas itu. Bahkan mungkin, tidak cemas sama sekali. Tak usah dibujuk untuk ikutan cemas.
Bagaimana, ya? Saya tak habis pikir mengapa dia takut atau malas mengucapkan Happy New Year 2025? Ayolah, percaya diri saja untuk mengucapkan kalimat tersebut.
Toh faktanya, semalam orang-orang yang merayakan pergantian tahun dengan suka cita masih banyak. Yang tidak ikut merayakan pun biasa-biasa saja. Tidak serta-merta diam terpuruk di pojokan kesengsaraan. Jadi, mengapa mesti enggan mengucapkan Happy New Year 2025?
Baiklah, baiklah. Selamat Tahun Baru. Happy New Year. Saya mantap mengucapkan (melalui tulisan) happy lho, ya. Tidak pakai ragu sekalipun tahu hari-hari di depan bakalan penuh tantangan.
Tentu ada alasannya, yaitu keyakinan saya bahwa ucapan adalah doa. Pun, bisa menjadi mantra yang mensugesti diri sendiri. Nah! Sama-sama berucap dan melafalkan mantra sugesti, kenapa tidak pilih berucap dan memberikan sugesti yang baik-baik saja?