Namun, pertanyaan anak saya mengusir kebimbangan itu. "Nanti milih apa, Bun? Aku enggak tahu semua calonnya." Setelah berpikir sejenak saya pun mantap merekomendasikan satu paslon. Yang sesungguhnya sudah saya pertimbangkan untuk dipilih, tetapi terbentur perasaan enggan terhadap partai pendukungnya.
Tentu saya merekomendasikan disertai dengan penjelasan. Alasannya apa? Siapa sejatinya si paslon yang saya rekomendasikan itu? Plus hal lain yang saya pikir penting untuk disampaikan.
Sebagaimana pilpres Februari lalu, pilkada serentak 2024 juga punya dampak luar biasa bagi saya. Menyebabkan saya mendadak jadi narasumber pendidikan politik untuk seorang generasi Z.
O, ya. Para petugas/panitia di TPS tempat saya memilih relatif muda-muda. Mereka berusia 50 tahun ke bawah. Mayoritas gen Z kalau saya perhatikan. Luar biasa. Bikin saya merasa tua renta jadinya. Sungguh. Waktu memang tak bisa dilawan. Anak saya pun sudah punya hak pilih. Sementara rasanya baru kemarin saya mendaftarkannya masuk TK.
Kiranya poin pembatasan usia para petugas/panitia pilkada sangat perlu dipatuhi. Tentu plus kriteria kesehatan mereka. Perlu Anda ketahui, sembari menuntaskan tulisan ini saya mendengarkan siaran radio mengenai adanya beberapa petugas di TPS yang meninggal dunia sebab kelelahan.
Soal usia memang takdir Ilahi. Tak ada yang tahu kapan terjadinya dan apa penyebabnya. Hanya saja, itungannya kita jahat kalau tidak berusaha untuk menghindarkan hal serupa itu terjadi.
Demikianlah cerita pemilih saya hari ini. Semoga ada inspirasi yang dapat dipetik darinya. Yup! Pilkada boleh datang tiap lima tahun. Namun, saya tidak pernah memilih gubernur. Buat apa? Gubernur beserta wakil gubernur saya 'kan sudah paten. Tidak dapat diubah-ubah lagi.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H