Sesampainya di dekat Monumen Batik, saya berhenti dan berkata, "Ini lho, monumennya. Sebesar ini dan enggak pernah lari-larian ke mana-mana. Masak iya kamu tak melihatnya?"
"Oalaaah? Ini monumennya? Yang hitam ini? Hahahaha!"
Saya bengong melihat reaksinya. "Kok tertawa?"
"Hahahaha! Aku pas pepotoan memang melihatnya. Tapi enggak tahu kalau ini Monumen Batik. Kupikir bangunan apa, gitu. Kok ditaruh di sini. Hahahaha!"
"Woiii. Kamu enggak baca tulisannya ini? Yang nempel di monumennya ini?"
"Enggak. Hahahaha!" Kawan saya belum hilang tertawanya. "Jadi, dulu aku tak peduli. Kupikir pembatas apa, gitu. Pokoknya bukan sesuatu yang penting. Makanya aku tidak berfoto di depannya. Tidak memfotonya juga. Hahahaha!"
Saya tercenung mengamati Monumen Batik di depan kami. Memang tak ada papan nama atau tanda apalah-apalah yang mencolok mata, untuk menjelaskan monumen tersebut. Siapa yang menyangka kalau itu Monumen Batik? Wajar kalau kawan tersebut tidak menyadari kehadirannya.
Dia tidak sendiri. Ada kawan lainnya yang juga tidak paham bahwa bangunan hitam tersebut Monumen Batik. Namun, kawan yang ini memang orang luar DIY. Belum pernah mengeksplorasi kawasan Titik Nol. Jadi, tatkala itu saya kira wajar kalau dia tak paham monumen tersebut.
Pantas saja di sepanjang "karier nongkrong" saya di dekat situ, hampir tak ada yang pepotoan dengan latar belakang Monumen Batik. Terlebih ketika masih ada tulisan besar-besar yang instagramable di situ. Makin tidak ada yang melirik jadinya. Kalah eyecathcing.
Apa boleh buat? Sayang sekali sebetulnya. Monumen Batik sudah dibuat dengan serius, tetapi dicueki publik hanya gara-gara tak diberi papan petunjuk yang jelas.