Mohon tunggu...
Agustina Purwantini
Agustina Purwantini Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Aktif pula di blog pribadi www.tinbejogja.com

Pada dasarnya full time blogger, sedang belajar jadi content creator, kadang jadi editor naskah, suka buku, serta hobi blusukan ke tempat heritage dan unik.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Sekali Datang ke Semai Semarai, Langsung 15 Museum di Bantul Terkunjungi

28 Agustus 2024   11:55 Diperbarui: 31 Agustus 2024   01:32 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa waktu lalu saya menulis tentang Paspor Museum untuk mengunjungi museum yang tersebar di seantero Yogyakarta. Jumlahnya ada puluhan. Yang terusterang saja, dari puluhan museum itu masih banyak yang belum sempat saya kunjungi. Terutama yang lokasinya jauh dari pusat kota atau sesungguhnya tidak begitu jauh dari pusat kota, tetapi akses transportasi publiknya tak ada.

Oleh sebab itu, sungguh terasa pucuk dicinta ulam tiba manakala tak disangka-sangka saya berkesempatan mewakili Komunitas JWT (Jogja Walking Tour) untuk hadir di acara talkshow bertema "Ekspresi, Eksplorasi, dan Kita" di Pendhapa Art Space. Talkshow tersebut merupakan bagian dari Bantul Museum Expo (BME) 2024 yang diikuti oleh 15 museum yang beralamat di Kabupaten Bantul. Jadi, selepas talkshow saya bisa sekalian tur keliling BME.

Dokpri Agustina
Dokpri Agustina
Walaupun masing-masing museum cuma menampilkan sedikit koleksi, lumayanlah sudah bisa memberikan gambaran mengenai museumnya. Koleksi yang dibawa ke pameran pun pastilah yang dianggap paling mewakili museum yang bersangkutan. Terlebih ada edukator yang siap memberikan penjelasan dan berkenan menjawab jika pengunjung pameran mengajukan pertanyaan.

Dari sekian banyak koleksi yang dipamerkan, ada beberapa yang sangat berkesan bagi saya. Salah satunya topi baret yang biasa dipakai Pak Tino Sidin. Demi melihat topi baret itu, ingatan saya terbang jauh ke masa kanak-kanak. Masa di mana hanya ada TVRI dan tiap Minggu sore saya (dan mayoritas anak Indonesia) nongkrong di depan pesawat TV untuk menyaksikan acara menggambar bersama Pak Tino Sidin.

Dokpri Agustina
Dokpri Agustina
Tentu saja topi baret tersebut merupakan koleksi dari Museum Taman Tino Sidin. Jika dipikir-pikir, siapa yang menyangka kalau pada akhirnya saya bisa melihat langsung topi baret legendaris itu. Yang dahulu cuma bisa melihatnya dari layar kaca. Bahkan, ada pula gambar karya Pak Tino Sidin. Lagi-lagi, siapa yang menyangka kalau saya pada akhirnya bisa melihat coretan beliau secara langsung.

Selanjutnya, saya terkesan sekali dengan tempat cuci tangan (wastafel) koleksi dari Museum Bantul Masa Belanda. Mengapa? Karena modelnya yang cantik. Tidak terlihat kuno-kuno amat andai kata dipergunakan di era sekarang. Hanya saja bagi saya, warna putihnya dengan noda karatan di sana-sini justru memantik imajinasi horor. Apa boleh buat? Saya mendadak teringat suster ngesot.

Dokpri Agustina 
Dokpri Agustina 
Untung saja kemudian saya tiba di spot koleksi Museum & Factory Chocholate Monggo. Lumayanlah, ya. Rasa horor hilang digantikan rasa ingin mencicipi cokelat. Sayang sekali tidak ada tester yang bisa dicomot. Jadi ujungnya, saya cuma berimajinasi mengunyah cokelat.

Ada dua lagi koleksi yang sangat mengesankan, yaitu papan sangatan dan spesimen beberapa jenis benih padi yang diwadahi botol-botol.

Dokpri Agustina
Dokpri Agustina

Saya antusias mengamati buliran padi dalam botol-botol itu. Tersadarkan bahwa telah lama sekali tidak pernah melihatnya secara langsung. Sangat berbeda dengan saat masih kecil dulu, saat bertetangga dengan para petani. Tatkala itu tak jarang saya ikut anak-anak mereka (yang merupakan teman-teman sekolah saya) menunggui hamparan padi yang sedang dijemur. Tujuannya menjaga dari serbuan ayam-ayam yang hobi memakan gabah. Kalau tidak ditunggui bisa habis.

Museum memang sungguhan untuk mengenang masa lalu, ya? Walaupun seperti yang saya alami itu, tujuan dimuseumkannya spesimen benih padi apa, saya teringatnya pada apa? Tak jadi soal. Museum Tani Jawa Indonesia, sang pemilik koleksi, pasti bisa memahami kebaperan saya itu.

Koleksi terakhir yang mengesankan bagi saya adalah papan sangatan. Menurut pemahaman saya, berdasarkan keterangan singkat yang ditempelkan di samping koleksi, papan sangatan bisa disebut kalender pertanian yang dibuat dari kayu. Silakan cermati baik-baik foto di bawah ini. Tampak ada goresan-goresan (gambar-gambar) di permukaannya 'kan?

Dokpri Agustina
Dokpri Agustina

Itulah pranatamangsa atau sistem kalender pada masyarakat Jawa, yang dikaitkan dengan aktivitas pertanian. Tidak hanya dalam hal bercocok tanam, tetapi dalam hal penangkapan ikan juga. Kiranya itu merupakan kearifan lokal. Sejak ratusan tahun silam para petani Jawa mampu membaca peredaran matahari secara unik dan presisi. Terusterang, saya takjub dengan papan sangatan. Bolak-balik saya cermati benda koleksi Museum Wayang Beber Sekartadji itu. Selintas galau singgah di hati, "Papan sangatan ini akan punah atau tidak? Bagi petani milenial dan petani genZy, apakah benda tersebut masih bermanfaat?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun