Mohon tunggu...
Agustina Purwantini
Agustina Purwantini Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Aktif pula di blog pribadi www.tinbejogja.com

Pada dasarnya full time blogger, sedang belajar jadi content creator, kadang jadi editor naskah, suka buku, serta hobi blusukan ke tempat heritage dan unik.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Agar Makin Seru dan Asyik Bikin Tiruannya, Dong!

4 Agustus 2024   23:52 Diperbarui: 4 Agustus 2024   23:56 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ini adalah lanjutan dari tulisan sebelumnya. Jika ingin lebih memahami tulisan ini, silakan cek artikel yang saya tayangkan tanggal 3 Agustus kemarin.

***

Kemarin saya menulis artikel berjudul "Dilarang Menyentuh, Padahal Kami Butuh Memegang dan Merasakan Sensasinya". Yang isinya berupa kritikan Mas Erwin terhadap POV mayoritas pengelola museum di Indonesia. Kurang lebih POV (point of view) tersebut menganggap bahwa semua pengunjung museum cukup puas dan paham dengan hanya melihat. Melihatnya pun dibuat berjarak sedemikian rupa agar koleksi museum yang dipajang tidak tersentuh.

Anda tentu ingat. Bila masuk sebuah museum, di sana-sini terselip tulisan don't touch alias aja didumuk (bahasa Jawa) alias terlarang buat disentuh. Sampai-sampai frasa don't touch itu seolah-olah telah ditahbiskan menjadi semboyan paten museum.

Sebetulnya si don't touch tidak salah juga, sih. Dapat dimaklumi. Toh tujuannya demi melindungi keamanan dan kelestarian koleksi museum. Hanya saja perlu diingat, tidak semua koleksi museum dapat dipahami secara maksimal hanya dengan dilihat. Lagi pula idealnya, museum tidak mengaktifkan indera penglihatan belaka. Terlebih kalau sarana dan situasinya  kondusif untuk mengaktifkan indera-indera lainnya.

Misalnya koleksi yang berupa seperangkat gamelan Jawa. Gamelan itu 'kan terdiri atas beragam alat yang bisa dibunyikan. Mulai dari gong sampai siter. Nah! Jika koleksi seperangkat gamelan tersebut cuma dipajang, tanpa dilengkapi sarana yang bisa menghadirkan bunyi masing-masing alat, tentu pengunjung museum yang sama sekali tidak tahu gamelan tak bakalan punya bayangan apa pun mengenai bunyinya.

Lain halnya jika di dekat koleksi gamelan yang don't touch itu ditaruh tiruannya. Yang bisa dibunyikan pengunjung. Atau minimal, ada alat/teknologi pelengkap yang dapat menghadirkan bunyi asli dari seperangkat gamelan yang dipajang.

Bagi pengunjung yang pernah tahu gamelan, mungkin upaya serupa itu terasa sepele. Beda dengan pengunjung yang awam sekali dengan gamelan. Sensasinya akan berbeda. Serapan pengalaman yang diperoleh pengunjung pun akan berbeda.

Itulah sebabnya saya merasa amat beruntung, saat beberapa waktu lalu datang ke sebuah pameran museum dan berkesempatan mendengarkan musik dari piringan hitam versi baru, yang disediakan di samping piringan hitam kuno yang tak boleh disentuh. Ahai! Benar kata Mas Erwin. Bikin tiruannya, dong.

Koleksi yang tak boleh disentuh(Dokpri Agustina)
Koleksi yang tak boleh disentuh(Dokpri Agustina)
Versi barunya yang boleh disentuh (Dokpri Agustina)
Versi barunya yang boleh disentuh (Dokpri Agustina)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun