"Kamu penulis yang bagus. Saya enggak mau kamu berhenti menulis."
Saya termangu mendengar perkataan tersebut. Perkataan yang dilontarkan Nicholas Saputra itu sungguh-sungguh menyentil. Membuat saya teringat bahwa belakangan ada deraan rasa frustrasi dalam diri, terkait pencapaian dalam dunia kepenulisan. Sempat ada semburat niat untuk berhenti. Namun di sisi lain, ada ketidakmengertian kalau berhenti menulis saya akan melakukan apa.
Terusterang saja perkataan tersebut menyenggol perasaan saya. Sekaligus bikin terharu. Plus merasa tidak sendirian sebab ada yang menyemangati dan mengapresiasi aktivitas menulis saya. Tak jadi soal bahwa perkataan itu merupakan dialog dalam sebuah film. Pun, ditujukan kepada Putri Marino (berperan sebagai Raia yang berprofesi sebagai novelis). Bukan kepada saya.
Tak apalah sesekali menghalu. Lagi pula, menghalunya masih dalam koridor positif. Sekadar numpang membayangkan sedang disanjung dan disemangati oleh Nicholas Saputra (berperan sebagai River yang berprofesi sebagai arsitek). Yang penting senggolan tersebut berdampak baik. Membuat saya berpikir bahwa Nicho memang dikirim Tuhan untuk menyemangati saya agar terus menulis. Lagi pula, bukankah kehaluan ini justru menunjukkan bahwa ternyata film pun bermanfaat untuk kehidupan seseorang di kehidupan nyata?
Sesungguhnya T. A. O. LÂ bukanlah film tentang penulis dan dunia kepenulisan. Cuma kebetulan tokoh utama wanitanya, yaitu Raia, berprofesi sebagai penulis. Kebetulan juga sedang menghadapi kebuntuan inspirasi gara-gara persoalan pribadi. Sebelas-dua belas dengan kondisi saya sekarang.
Bedanya, Raia melarikan diri ke New York dan di situ berjumpa dengan River (sang tokoh utama pria). Adapun saya cuma bisa melarikan diri dari kenyataan dengan cara menyimak T. A. O. L dan kemudian malah tersenggol perkataan River, yang saya kutip pada awal tulisan ini.
Untuk penonton yang bukan penulis atau tidak bercita-cita bisa menulis, perkataan itu tentu tidak bermakna apa-apa. Lain halnya untuk saya, yang ingin disebut berprofesi penulis. Tentu punya makna mendalam.Â
Lalu, apakah T. A. O. L menarik bagi penonton secara umum? Tentu saja. Film T. A. O. L memang bukan tentang kehidupan seorang penulis. Bukan pula tentang kehidupan seorang arsitek tampan. T. A. O. L adalah film tentang perjuangan orang-orang yang patah hati untuk move on dari kisah masa lalu mereka yang getir. Adapun patah hati bisa dialami siapa saja yang berprofesi apa saja. Termasuk Raia dan River. Hanya kebetulan mereka berprofesi sebagai penulis dan arsitek.
Secara garis besar T. A. O Â L menyadarkan bahwa move on memang tak gampang. Butuh proses yang acap kali tak sebentar. Lebih mudah dinarasikan daripada diupayakan. Sekalipun tepat di hadapan kita sudah ada sosok yang jauh lebih baik daripada sosok yang telah bikin patah hati.Â
Film T. A. O. L juga menyadarkan bahwa bertemu orang baru yang potensial sebagai pengganti orang lama, tidak serta-merta bisa mempercepat proses move on. Apa boleh buat? Begitulah kenyataannya. Move on memang gampang-gampang susah. Terkadang prosesnya rumit. Kadangkala juga bertele-tele. Jarang ada yang secepat kilat dan memang ada alasan validnya.