Saya ingat dengan pasti kapan mulai berkenalan dengan songgo buwono. Tempat berkenalannya juga saya ingat betul. Siapa yang memperkenalkannya pun saya tak lupa sama sekali. Bagaimana bisa lupa? Songgo buwono itu istimewa. Mana mungkin untuk sesuatu yang istimewa kita bisa lupa?
Jadi begini ...
Pertama kali saya tahu wujud songgo buwono adalah ketika pilpres 2014. Waktunya pagi jelang siang. Selepas dari TPS untuk melakukan pencoblosan. Saat itu pula menjadi saat pertama kali saya mencicipinya.
Yang mengenalkan songgo buwono kepada saya adalah mantan kakak ipar. Kebetulan saya mampir ke rumahnya yang sebelahan dengan TPS dan kebetulan pula dia menerima orderan snack box untuk panitia pemungutan suara. Nah. Salah satu isinya adalah songgo buwono. Karena ada lebihan produksi, saya pun disuguhi kudapan tersebut.
Terusterang saya takjub ketika diberitahu bahwa kudapan itu bernama songgo buwono. Terdengar seperti nama orang. Tepatnya nama seorang bangsawan Jawa. Kok bisa namanya nJawani (sangat berunsur Jawa), tetapi penampakannya ngEropah (ala Eropa)? Sungguh lutjuk dan unique 'kan? Ibarat seseorang berwajah dan berpostur seperti Justin Hubner, tetapi ternyata bernama Joko Pramono.
Saya makin takjub manakala diberitahu bahwa songgo buwono merupakan makanan kraton. Lagi-lagi bikin heran. Bagaimana bisa begitu? Sementara tampilannya saja mengingatkan pada kue sus dan burger. Sama sekali tak menampilkan unsur kelokalan dalam kuliner Jawa.
Di satu sisi saya bisa memaklumi karena pada awalnya sudah berpikiran kalau songgo buwono adalah nama bangsawan Jawa. Namun di sisi lain, tetap merasa heran. Karena faktanya secara kasat mata, songgo buwono merupakan perpaduan antara kue sus dan burger. Isiannya mirip isian burger. Sementara luarannya berupa kulit kue sus.
Dari sebuah referensi terkait, saya kemudian mengetahui bahwa penemu songgo buwono adalah Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Penemuan itu berdasarkan keprihatinan beliau terhadap kian banyaknya konsumsi makanan berpengawet, yaitu sejenis burger yang masa kadaluarsanya lama. Yang otomatis bukan merupakan bahan pangan sehat. Sangat berbeda dengan songgo buwono yang hanya tahan sehari di suhu ruang.
Semula rakyat jelata di luar tembok Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat tak leluasa mengonsumsi songgo buwono. Seiring waktu berjalan, songgo buwono mulai hadir di hajatan orang-orang kaya di luar tembok kraton. Hingga akhirnya menjadi kudapan massal dan mulai ada yang menjualnya secara bebas.
Pantas saja saya tidak langsung kenal dengan songgo buwono, padahal sudah lama sekali tinggal di Yogyakarta. Ternyata memang pada saat saya berkenalan dengannya, songgo buwono belum lama "merakyat".