Mohon tunggu...
Agustina Purwantini
Agustina Purwantini Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Aktif pula di blog pribadi www.tinbejogja.com

Pada dasarnya full time blogger, sedang belajar jadi content creator, kadang jadi editor naskah, suka buku, serta hobi blusukan ke tempat heritage dan unik.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Cari Konten dan Healing di Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta

28 Desember 2023   20:42 Diperbarui: 30 Desember 2023   11:12 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dahulu suasana di sini suram sekali (Dokpri Agustina)

Saya berdomisili di Kota Yogyakarta yang disinyalir dua per tiga wilayahnya mengandung sejarah. Kenyataannya di seantero kota memang bertebaran bangunan dan ruang bersejarah peninggalan era kolonial Belanda. Salah satunya Museum Benteng Vredeburg (biasa disingkat MBV) yang terletak di jantung kota.

Alhasil, ke mana pun melangkah saya bakalan kerap berjumpa dengan suasana heritage. Itu menyenangkan! Terlebih kalau menyengajakan diri untuk melangkah ke Museum Benteng Vredeburg, yang merupakan destinasi favorit saya. Pastilah suasana heritage itu kian kental terasa.

Dokpri Agustina
Dokpri Agustina
Tentu saja karena merupakan destinasi favorit, dari masa ke masa saya sering berkunjung ke Museum Benteng Vredeburg. Oleh karena itu, saya lumayan hafal suasananya. Terutama suasana halaman dan seantero bagian luarnya. Maklumlah. Saya suka duduk berlama-lama di halaman museum. Di sudut mana saja, yang pada saat itu saya pikir terasa nyaman, baik nyaman untuk mengobrol (bila mengajak teman) maupun nyaman untuk mengamati pengunjung lain yang hilir-mudik.

Kesukaan tersebut sudah pasti punya dampak. Misalnya saya ingat posisi meriam yang dulu di sana, ternyata sekarang menjadi di sini. Ruangan ini dahulu tampak suram, sekarang menjadi lebih terang.

Di bagian luar dulu tak ada patung-patung, sekarang bertebaran patung yang bisa saya jadikan properti berfoto. Koleksi ini dulu belum ada, sekarang ada. Dahulu saya berfoto di sebuah spot, ternyata saat hendak mengulang berfoto sudah berubah kondisinya.

Dahulu suasana di sini suram sekali (Dokpri Agustina)
Dahulu suasana di sini suram sekali (Dokpri Agustina)
Jika Anda bertanya-tanya, "Kok bisa tidak pernah bosan?" Tentu serta-merta saya akan menjawab, "Sangat bisa."

Saya kurang tahu persis alasannya. Namun, sepertinya ketidakbosanan itu disebabkan oleh rasa penasaran. Tiap kali hendak kembali berkunjung, melintas tanya di benak, "Ada perubahan apa lagi ya, di Museum Benteng Vredeburg? Yang dulu diperbaiki di sebelah sana, sekarang bentuknya seperti apa ya? Penataan halaman tengahnya diubah atau tidak, ya?"

Selain itu, dalam satu kunjungan saya memang tak sekaligus mengeksplorasi seluruh bagian museum. Misalnya bulan lalu saya mengeksplorasi sisi selatannya, bulan yang akan datang gantian mengeksplorasi halaman tengahnya. Museum Benteng Vredeburg itu sangat luas. Cukup melelahkan bagi saya kalau nekad menjelajahinya secara tuntas dalam sekali kunjungan.

Jangan lupa pula. Tujuan utama tiap kunjungan  saya 'kan berlainan. Jadi, tak jarang saya berkunjung tanpa masuk ruangan penyimpan koleksi museum. Adakalanya datang bersama teman-teman hanya untuk cari tempat yang nyaman dan tenang buat mengobrol. Di saat lain datang dengan tujuan utama membuat konten foto dan video.

Sementara kalau datang dengan tujuan rekreasi (yang biasa disebut healing oleh genzy), saya sekadar duduk-duduk di rerumputan. Mencari angin segar sembari memandangi kolamnya. Tentu plus berimajinasi tentang situasi ketika Museum Benteng Vredeburg masih dipergunakan sebagai benteng pertahanan pasukan Belanda.

Dokpri Agustina
Dokpri Agustina
Saya bersyukur karena seluruh halaman depan Museum Benteng Vredeburg kini bisa berfungsi sebagai RTH (Ruang Terbuka Hijau). Bahkan, yang sisi selatan dilengkapi dengan sarana permainan anak. Sebelumnya halaman depan tersebut sebagian besar menjadi lahan parkir bagi pengunjung Malioboro. Alhasil, tiap saat senantiasa dipenuhi kendaraan mulai dari bus mini hingga sepeda motor.

Alih-alih menjadi RTH, yang ada tatkala itu justru menjadi area penuh polusi udara dan suara. Kalau hendak masuk museum harus melewati deretan kendaraan yang terparkir. Terkadang malah ada bus mini yang sedang memanaskan mesin sampai keluar asap hitam segala.

Sebagai pengunjung setia, saya tentu senang dengan renovasi-renovasi yang dilakukan demi menambah kenyamanan pengunjung. Terlebih arsitektur bangunan-bangunan di kompleks Museum Benteng Vredeburg dipertahankan keasliannya. Sebagai penyuka bangunan lawas serta pemerhati model jendela dan pintu kuno, tentu saja saya merasa antusias bila ke situ.

Dokpri Agustina
Dokpri Agustina
Dokpri Agustina
Dokpri Agustina
Museum Benteng Vredeburg ibarat toserba yang menawarkan sistem one stop shopping. Di satu kompleks museum itu saja, saya bisa melakukan banyak hal. Bisa ngonten dan healing. Menikmati masa kini sembari mengingat masa-masa ketika bangsa ini masih terbelenggu kolonialisme Belanda. Di situ pula saya terpantik untuk mereka-reka, kiranya seperti apa bangsa ini di masa yang akan datang nanti.

Singkat kata, Museum Benteng Vredeburg merupakan paket komplet. Didesain sedemikian rupa sehingga menjadi tempat pendidikan sejarah yang menarik, ramah pengunjung, tak lagi terkesan angker, dan modern; tetapi terjaga keasliannya sampai sekarang. Semoga bakalan demikian selamanya.

Lebih dari itu, Museum Benteng Vredeburg terbukti mampu menjadi ruang publik yang menyenangkan. Tidak hanya bisa memfasilitasi para penyuka sejarah, tetapi bisa pula memfasilitasi khalayak umum yang butuh sekadar nongkrong di RTH. Kurang lebih itulah alasan-alasan saya tak pernah bosan mengunjunginya.

Bagi saya, Museum Benteng Vredeburg dan seluruh bangunan/ruang kota peninggalan era kolonial Belanda merupakan aset berharga bangsa Indonesia. Saya tidak berkeberatan jika bangunan-bangunan dan ruang-ruang heritage seperti itu dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhan zaman. Namun, statusnya wajib dijadikan cagar budaya agar terlindungi dari renovasi dan revitalisasi yang ngawur.

Bukan sekali dua kali saya geram gara-gara ada bangunan heritage yang katanya direvitalisasi, tetapi kenyataannya dirusak atas nama revitalisasi. Revitalisasi kok merobohkan bangunan lama dan kemudian menggantinya dengan bangunan baru? Mana arsitektur bangunan barunya asal-asalan pula.

Kalau tempat dan ruang heritage didekorasi kekinian secara artifisial, misalnya dikasih nama dengan tulisan besar warna-warni, level geram saya masih tergolong ringan. Namun, sebenarnya ya tetap sama-sama bikin patah hati. Spontan saya kemudian pasti mengomel, "Itulah akibat dari rendahnya kesadaran sejarah para pemangku kebijakan."

Apa boleh buat? Fakta terkait rendahnya kesadaran sejarah di kalangan pemangku kebijakan memang menyedihkan. Malah mungkin lebih tepat kalau disebut mengerikan.

Itulah sebabnya saya bersyukur karena menyaksikan bahwa mayoritas bangunan dan ruang peninggalan era kolonial Belanda di sekitar saya, selain Museum Benteng Vredeburg, masih cukup terawat. Lebih dari itu, bahkan dimanfaatkan untuk keperluan-keperluan zaman sekarang. Keaslian bentuknya pun masih dipertahankan. Semoga akan selalu begitu.

Demikian cerita tentang tujuan saya datang ke Museum Benteng Vredeburg, yang merupakan salah satu tempat bersejarah. Nah. Kalau Anda cari apa, saat berkunjung ke tempat bersejarah seperti Museum Benteng Vredeburg itu? Samakah dengan saya? Mari berbagi cerita di kolom komentar.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun