"Puasa? Tidak makan selama satu hari? Juga tidak minum? Hei! Kamu tidak mati? Mengapa kamu tidak mati?!"
Demikian lontaran pertanyaan dari sejumlah teman Korea. Mereka antusias mengelilingi saya. Memperhatikan dengan seksama. Seperti tak yakin bahwa siang itu saya baik-baik saja.
"Benar? Kamu tak mau minum sedikit saja? Matahari panas sekali. Kamu tidak pingsan? Tidak akan mati kehausan?"
"Kulitmu baik-baik saja? Bagaimana bisa begitu? Kenapa tidak kering? Tidak mengelupas? Kamu 'kan satu hari tidak minum sama sekali? Dan itu terus, terus, tiap hari?"
Peristiwa tersebut terjadi dua puluhan tahun silam. Namun, saya masih selalu tersenyum-senyum saat mengingatnya.
Hadeh! Kalau berpuasa menyebabkan kematian, sudah berapa juta orang Islam yang mati gara-gara puasa? Hehehe ....
Akan tetapi, saya memaklumi keheranan teman-teman Korea itu. Waktu kami bertemu, orang Islam yang berada di negara mereka belum sebanyak sekarang. Mungkin saya adalah orang Islam pertama yang mereka ajak berinteraksi intensif.
Kok ya kebetulan, mereka berkunjung di Yogyakarta saat Ramadan. Plus memperoleh tutor seorang muslimah. Jadi selain belajar budaya Indonesia, mereka sekaligus bisa sedikit mengenal Islam.
Sementara saya tersadarkan bahwa rupanya ada orang yang salah sangka terhadap kewajiban berpuasa Ramadan. Kalau istilah Jawa, tumbu entuk tutup.
Tatkala itu mau tak mau saya memberikan penjelasan panjang lebar. Saya katakan saja bahwa saya tidak mati karena sesungguhnya tetap makan dan minum. Hanya bergeser waktunya.
Adapun kulit saya tidak mengering dan mengelupas karena cukup asupan air. Saya jelaskan kepada mereka, "Saya berusaha banyak minum ketika malam."