Saya semula berjalan bersisian dengan Mbak Wahyu Sapta di trotoar depan masjid. Tentu saya berjalan sembari motret-motret apa pun yang layak dipotret. Eh, tahu-tahu beliau sudah tak terlihat lagi di sekeliling saya. Â
Setelah celingukan sendiri beberapa menit, saya melihat Kak Dian dan Kak Mesha di kejauhan. Mereka tampaknya sedang mengobrol dengan satpam masjid.
Setelah keduanya sampai di tempat saya berdiri, barulah saya tahu bahwa mereka tidak diajak mengobrol oleh satpam. Sesungguhnya mereka tadi dicegat dan ditegur karena tak berjilbab. Baju mereka pun dianggap kurang sopan.
Demi mengetahui hal itu, saya teringat sesuatu. "Wah, iya. Mestinya kubawakan jilbab instan buat kalian. Aku tidak kepikiran."
"Aku sih, bawa ini." Kak Dian berkata sambil mengeluarkan selembar pasmina hitam.
"Lho?" Saya takjub memandanginya dan bertanya, "Kok kamu malah sudah persiapan?"
Jawab Kak Dian sambil nyengir, "Buat jaga-jaga. Biasanya kalau masuk masjid 'kan disuruh menutup aurat."
"Aku enggak bawa," kata Mbak Mesha.
Seketika saya tertawa-tawa mendengarnya dan berujar, "Ini ironis. Kami yang Islam malah enggak persiapan."
"Untung satpamnya nanya 'mau masuk masjid?', bukan 'mau shalat?'. Jadi, aku bisa dengan pede menjawab 'iya'. Kalau satpam nanya 'mau shalat?', aku mesti bingung menjawabnya. Hehehe ...."
Kami pun tertawa-tawa lagi mendengar penuturan Kak Dian. Kemudian dia berujar, "Eh, eh. Tapi ini bagaimana cara makainya? Rambutku nanti pasti tetap kelihatan."