Koyok wong ilang mlaku dewe! Â (Jalan kaki sendirian tuh kayak orang kesasar)
Mangkane ajar numpak motor ben ora mung mlaku. (Makanya belajar naik sepeda motor supaya enggak cuma bisa jalan kaki)
Mlaku kih kesuwen. (Jalan kaki itu kelamaan)
Mosok kowe ra sanggup njupuk kreditan motor? (Masak sih kamu tak mampu ambil kreditan sepeda motor?)
Koyok turis wae seneng mloka-mlaku. (Kayak turis saja suka jalan kaki)
Terusterang saja saya kerap menerima komentar-komentar seperti itu dari teman, tetangga, atau kenalan yang kebetulan berpapasan bilamana saya sedang jalan kaki sendirian.
Oke. Santai saja. Tak perlu diambil pusing. Tak perlu juga dijelas-jelaskan sebab toh sama saja. Mereka susah dikasih pengertian mengapa saya hobi jalan kaki.
Ketika mereka menawarkan jasa untuk memboncengkan, entah serius entah sekadar basa-basi, ini pun bisa direspons dengan santai saja.
Karena sudah berniat jalan kaki dan memang jalan kaki telah menjadi salah satu to do list pada hari itu, serta-merta saya tolak tawaran tersebut. Pastilah dengan santun plus senyuman manis.
Akan tetapi, ternyata tak mudah juga untuk melakukan penolakan. Perlu berkali-kali diulang sehingga yang bersangkutan percaya bahwa saya memang memilih tetap jalan kaki karena ingin.