Situasi jalan kampung yang sepi membuat teman saya ragu meneruskan langkah. Ia khawatir bahwa kami terlalu awal berangkat. Bahkan mukena yang semula dipakai sejak dari rumah, ia lepas lagi.
Saya ketawa kecil dan berkata, "Kita berangkatnya pas. Sebelum azan, kayak biasanya kalau hendak takziah di Masjid Gedhe. Jangan-jangan orang-orang kampung sini sudah berangkat sedari tadi."
Akan tetapi, ia kurang percaya penjelasan saya selaku warga lokal. Buktinya, ia memperlambat langkah dan malah mengeluarkan HP untuk memotret suatu objek yang menarik perhatiannya.
Tiba-tiba terdengar pengumuman dari masjid. Isinya, hadirin yang hendak menunaikan salat Asar dipersilakan segera berwudu karena 3 menit lagi azan.
Spontan teman saya memakai kembali mukenanya dan kami kemudian setengah berlari menuju masjid.
Semula saya lega sebab melihat suasana halaman samping dan tempat wudu pria tidak terlalu padat. Namun, begitu lepas sandal dan hendak masuk ruangan, kelegaan saya sirna.Â
Kami terhenti di ambang pintu samping ruangan utama masjid. Di dalam padat sekali. Rasanya susah untuk menyibak kerumunan jamaah pria di situ. Terlebih dalam kondisi sudah berwudu.
Saya celingukan mencari solusi. Sementara teman saya hanya bisa pasrah melihat pemandunya bingung. Ujungnya saya ajak ia lewat bagian depan. Sedikit memutar memang.
Untunglah di bagian serambi, meskipun penuh jamaah pria juga, kondisinya tak sepadat ruangan utama. Aman. Terlebih ada seseorang yang berteriak, "Beri jalan, beri jalan."
Alhamdulillah. Walaupun lumayan susah payah, kami bisa sampai di shaf wanita.Â
Akan tetapi, saya heran. Orang-orang yang kami lewati tadi kok berbaris rapi, berdiri di sepanjang pinggiran pintu utama ruang salat?
Sempat saya berpikir mereka menunggu kedatangan jenazah Buya Syafii. Namun, bukankah jenazah beliau telah disemayamkan di ruangan dalam sejak jelang Jumatan?