Terus terang saja, pada mulanya saya tak merasa kalau lahir dan besar di keluarga yang terbiasa mempraktikkan toleransi beragama. Mungkin karena sejak lahir sudah langsung berhadapan dengan perbedaan tersebut, jadi otomatis saja perilaku toleransinya. Tanpa banyak kata dan wacana.
Sebagian besar keluarga besar saya adalah pemeluk Islam. Menariknya, para pemeluk Islam ini ada yang "santri banget", ada pula yang cenderung abangan. Kebetulan saya lahir dari golongan yang cenderung abangan tersebut.
Adapun sebagian kecil lainnya adalah pemeluk Katolik yang taat. Bulik bahkan mengajar di sebuah sekolah yayasan Katolik. Kalau tidak salah, yang diampu ya mapel agama.
Insyaallah ingatan tersebut benar karena saya juga mendapatkan cerita bahwa dahulunya bulik hendak menjadi biarawati. Â Namun, simbah putri tidak mengizinkan karena biarawati tidak boleh menikah. Sementara simbah ingin melihat anak perempuan satu-satunya menikah dan memberikan cucu kepadanya. Alhasil, bulik mengambil jalan tengah dengan menjadi guru agama.Â
Perlu diketahui, simbah putri saya Alhamdulillah telah menunaikan ibadah haji. Berangkatnya bersama pakdhe dan budhe. Jadi kalau dipikir-pikir, keluarga besar saya memang sungguh beragam.Â
Takaran sikap toleransi beragama kami pun tidak berlebihan. Pokoknya biasa saja. Â Semua berjalan apa adanya tanpa perlu menghafalkan definisi apalah-apalah.
Demikian itulah latar belakang kehidupan keagamaan saya. Â Kok ya kebetulan saya sempat berjodoh dengan seseorang yang juga berasal dari keluarga majemuk agama. Ya sudah. Berarti kian kompletlah pengalaman saya dalam menjalani toleransi beragama.
Ketika pada akhirnya saya berproses menjadi lebih santri, dalam arti mulai berusaha mendalami Islam secara kaffah, sikap toleransi antar umat beragama itu pun masih setia saya genggam.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H