Tulisan ini merupakan tulisan ketiga saya tentang Imlek di Kompasiana. Dua tulisan sebelumnya saya buat setahun lalu dan kurang lebih dua minggu lalu. Selain di Kompasiana, saya pernah pula menuli tentang Imlek.Â
Hobi banget, ya? Mungkin. Hehehe .... Namun, yang jelas saya punya banyak cerita terkait Imlek. Mulai dari cerita apes hingga cerita mujur.Â
Silakan baca "Aku, Imlek, dan Hal-hal Tak Terlupakan".
 Perlu diketahui, agar Anda sekalian tak salah paham, tulisan-tulisan saya itu bukanlah jenis tulisan serius ilmiah. Oh, no! Saya bukan seorang ahli budaya Tionghoa, lho. Saya hanyalah seorang penyuka pernak-pernik Imlek. Terutama lampion-lampion merahnya.
Nyaris Ketinggalan PrameksÂ
Saya memang suka sekali warna merah. Bagi saya, merah itu ceria dan selalu membangkitkan semangat. Minimal amat berfaedah ketika dipakai untuk berfoto. Bikin hasil jepretan lebih hidup.
Oleh sebab itu, Imlek menjadi salah satu hal yang tiap tahun saya tunggu-tunggu kehadirannya. Bahkan pada Imlek 2020, jelang Indonesia dinyatakan pandemi Covid-19, saya bela-belain ke Solo demi menikmati ribuan lampion merah di seputaran Pasar Gedhe Solo.
Memang terniat sekali. Dari Jogja naik Prameks (yang sekarang tinggal kenangan) jadwal terpagi. Pulangnya naik Prameks jadwal terakhir.Â
Itu pun saat hendak balik ke Jogja nyaris ketinggalan kereta. Hanya gara-gara saya enggan beranjak dari naungan lampion-lampion merah nan indah. Sudah bolak-balik waspada nengok jam, eee, lalai juga ujungnya.Â
Untung saja driver ojek daring yang mengantar ke Stasiun Purwosari bersedia  cari jalan pintas dan sedikit ngebut. Alhasil begitu turun di depan stasiun, saya langsung berlari secepat kilat ke peron. Alhamdulillah masih kuat berlari kesetanan seperti itu. Berarti sehat.Â
Iya. Sekonyol itu perilaku saya akibat bucin pada lampion merah Imlek. Luar biasa 'kan?