Sementara saat bercerita tentang pengalaman tersesat di Sarkem, tanggapannya sungguh heboh. Dengan mata membulat orang yang saya ceritai tertawa-tawa geli dan berkata, "UWOOOW. Kok bisa masuk ke sana? Pengalaman langka ituuu. Apa isinya? Gimana situasi di dalamnya? Ceritain, dong. Bikin penasaran banget."
Jika yang saya ceritai tak paham Sarkem, setelah diberi penjelasan tentangnya serta-merta bakalan bereaksi, "UWOOOW." Tentu disambung dengan tawa dan aneka respons beraroma kepo.
Sampai di sini sudah jelas ya, perihal Nicholas Saputra yang kalah UWOW dari Sarkem.
Obsesi yang Sekian Lama Terpendam
Saat mulai tinggal di Yogyakarta, semasa orde baru berkuasa, pada bulan-bulan pertama saya telah mendengar tentang Sarkem. Selanjutnya dari tahun ke tahun, tak terasa sederet cerita tentangnya terkumpul di ingatan ini.
Wajarlah karena di banyak kesempatan guyon dan nongkrong, nama lokalisasi tersebut tak jarang dijadikan guyonan. Wajar pula kalau saya penasaran ingin mengetahui kondisi tempatnya. Terlebih kompleks prostitusi legendaris itu terletak di tempat strategis.
Tiap kali melewati jalan di selatan Stasiun Tugu, mata saya pun menyapu ke sana kemari. Sembari membatin, "Tempatnya yang mana, sih? Kok orang-orangnya terlihat normal-normal saja? Tak ada yang berdandan menor?"
Hal demikian terus berlangsung sampai Indonesia berganti-ganti pemimpin. Mulai dari Presiden Soeharto, Presiden Habibie, Presiden Gus Dur, Presiden Megawati, Presiden SBY, hingga Presiden Jokowi, barulah rasa penasaran saya tertuntaskan.
Pada tanggal 1 Juni 2021, bertepatan dengan hari lahirnya Pancasila, akhirnya saya berkesempatan mengeksplorasi Sarkem. Tentu tak sengaja. Sebab sesungguhnya, saya bersama dua kawan sedang jalan-jalan pagi.
Yup! Seperti biasa, pagi itu kami memilih rute blusukan kampung. Tujuannya sekalian cari objek jeprat-jepret yang menarik. Eh, kok ya malah masuk gang terlarang.
Sebenarnya ada seorang laki-laki yang dari kejauhan melarang kami masuk gang. Hanya saja, kami tak paham.